Minggu, 27 Desember 2009
curhat penulis 6
Tapi catatan penting.
Bagi pembaca blog ini, saya akan menunda meneruskan novel yang ( seharusnya ) saya tulis karena satu dan lain hal.
Sebagai gantinya, saya akan membuat cerita-cerita pendek.
Novelnya masih akan saya akan saya teruskan, jadi sabar ajah...
OKE ??
P. S. : Buat siapa pun yang udah jauh atau udah selesai maen game Call of Duty 4 : Modern Warfare, tolong hubungi saya... ada yang mau saya tanyain... saya maen game ini pas yang act II nya mati mulu...
Tolong bantu saya...
Silahkan hubungi e-mail saya aja di hiruma.is.cool@gmail.com...
Minggu, 13 Desember 2009
Curhat penulis 5
Jumat, 27 November 2009
Curhat penulis 4
Uhm... tentang gambar ini... saya membaca komik maximum ride secara online, dan langsung berpikir, "Gila ! Bagus banget...!"
saya sudah membaca novel2 Maximum Ride sejak lama, tapi lupa memasukkannya ke dalam daftar buku favorit... (Begonya !!! -_-;)
Anyways... buat yang belum baca, silahkan coba baca Maximum Ride, dimulai dengan The Angel Experiment, dan seterusnya, dan seterusnya...
Kamis, 26 November 2009
curhat penulis 3
Keren kan ??? saya menemukan gambar ini tanpa sengaja... dan ternyata sangat bagus....
ada nggak yang tahu ini dimana ??? Hmmm???
Yang ini gambar yang diambil pas lebaran... Yang mengenali kedua orang ini harap meninggalkan komentar, ya... saya akan senang sekali...
Maaf, ya... gambarnya sudah saya muat tanpa izin... tapi saya pengen mempublikasikannya... siapa tahu jadi terkenal... ^_^
Jumat, 30 Oktober 2009
Anne Highs
Usia : sama dengan Ken
Keterangan :
Tipe cewek lembut yang terus terang. Gayanya kayak cewek kebanyakan.
Cuma agak lebih tegar.
Saya suka rambut hitam panjangnya itu... rambut saya panjang juga, tapi berantakan sangat...
Maaf, kalau gambarnya agak jelek... waktu gambar ini, mood saya lagi ilang...
Chapter 5
The Reason
Alasan kenapa Ken membenci rumahnya :
1. Orang tuanya.
2. Lumina Steall.
3. Todd Steall.
4. Ia merasa rumah itu lebih buruk dari tong sampah.
---
Ken melangkah keluar dari kamarnya. Ia melihat ayahnya terkapar di sofa ruang TV dengan sebotol bir murahan di tangan dan beberapa kaleng bir kosong bergelatakan di sekitarnya. Ken bahkan bisa mendengar ia mengorok begitu keras. Melihat ayahnya di sofa, Ken tahu Lumina sudah pulang hari ini dan berada di sapur menghabiskan dua botol sherry sebelum kembali ke kamarnya dan tidur sampai malam.
“Kau sudah mau pergi ke sekolah ?” tanya Lumina. Ia muncul dari dapur, mengenakan jubah tidur biru lusuh diatas baju tidurnya. Sebatang rokok terselip di bibirnya yang dilapisi lipstik merah.
Siapa pun yang melihat Lumina pasti akan mengakui kalau ia adalah wanita yang cantik dan menarik. Hanya saja sikapnya sehari-hari akan membuat orang berpikir dua kali.
“Belum. Aku mau membuat sarapan untuk Angel,” kata Ken. Ia masuk ke dapur. Sesaat ia mengira Lumina akan keluar dari tempat itu, tapi ternyata tidak. Lumina malah duduk di kursi dapur, menuang lebih banyak lagi sherry ke dalam gelasnya yang sudah kosong.
“Kau terlalu memanjakan anak itu,” kata Lumina. “Kau bisa jadi seperti ini karena tidak pernah kumanja.”
“Bukan tidak pernah kau manja, tapi tak pernah kau urusi,” koreksi Ken dengan nada dingin. Lumina terkekeh.
“Yang penting kau hidup, ‘kan ? Seharusnya kau berterima kasih padaku,” kata Lumina menenggak sherry-nya tanpa ragu-ragu.
“Yeah, terima kasih banyak karena sudah memberiku kehidupan yang kacau,” kata Ken penuh sarkasme. Tapi sepertinya Lumina tak peduli pada Ken yang sejujurnya mulai marah, meski ia terlihat amat tenang dengan sikapnya. Kehidupan Ken selama ini telah membuatnya belajar untuk tidak terlalu menunjukkan emosinya secara terang-terangan. Hanya saja, saat semua menyangkut Angel, ia bisa langsung meledak. Ia berusaha menekan emosinya.
Lumina hanya mengangkat bahu tak peduli, ia kembali menikmati sherry-nya sementara Ken membuat sarapan dalam diam.
---
Samantha tak heran saat melihat wajah Ken yang tampak begitu tenang saat ia muncul di kelas Bahasa Prancis. Samantha tahu Ken sedang menyembunyikan perasaannya. Mungkin banyak orang yang cuma melihat Ken dalam ekspresi tenang, mungkin terkadang agak marah. Tapi Samantha mampu melihat lebih dari itu. Dia tahu saat Ken tampil dengan wajah tenang, ada banyak hal mengganggu pikirannya. Dan Samantha memutuskan untuk tidak mengusik semua itu.
Mademoiselle Clarisse terus mengoceh di depan kelas dalam Bahasa Prancis yang fasih, tampaknya menceritakan ulang kisah Beauty and the Beast dalam Bahasa Prancis.
“Ada yang mengganggu anda, Mademoiselle Hayes ?” tanya Mademoiselle Clarisse.
Samantha menyadari ia memperhatikan Ken lekat-lekat. Kini seluruh mata di kelas itu menatapnya.
“Tidak. Tidak apa-apa…” gumam Samantha. Ia sendiri kaget saat melihat Ken menyadari ia memandangnya begitu lekat. Tak lama kemudian, pelajaran dilanjutkan kembali.
Tiba-tiba secarik kertas mendarat mulus di mejanya. Samantha menunduk membaca tulisan di kertas itu.
Apa yang kau perhatikan ? Ada sesuatu di wajahku ?
-Ken-
Samantha menoleh, melihat Ken yang duduk di sebelah kirinya sibuk menulis catatan Bahasa Prancisnya.
Kau ini bodoh, ya ? Untuk apa aku memperhatikan wajahmu ? Aku melihat keluar jendela !
-Sam-
Ia bohong. Ia memang memperhatikan wajah Ken, berusaha menerka-nerka apa isi kepalanya.
Samantha melemparkan kertas itu dengan hati-hati ke meja Ken. Ken mendongak dan membaca kertas itu, ia tersenyum dan menuliskan sesuatu. Tak lama, kertas itu kembali mendarat di meja Samantha.
Jangan bohong. Aku tahu kau memperhatikannya. Sekarang kutanya ada sesuatu di wajahku ?
-Ken-
Samantha menghela nafas.
Tidak. Tidak ada apa-apa.
-Sam-
Samantha melemparkan kertas itu pada Ken. Tapi sebelum Ken sempat membacanya, Rush sudah bertindak lebih dulu. Ia menyambar dan merebut kertas itu dari Ken dan menulis sesuatu.
Tak bisakah kalian mulai memperhatikan wanita tua yang terus berbicara dalam bahasa yang tak jelas ini ? Dia sudah mulai melihat ke sini. Aku tak mau dia tahu aku membaca majalah dibawah buku Bahasa Prancisku. Hey, tunggu… apa maksudnya dengan liat-liatan wajah ini ? Kalian tidak…
Rush tak pernah menyelesaikan tulisannya itu karena Ken sudah merebut kertas itu sebelum Rush sempat menuntaskan kata-katanya. Ia membaca kertas itu sejenak lalu meremuknya dan memasukkannya ke dalam saku.
Ken tersenyum ke arah Samantha dan menggeleng. Samantha tersenyum sedikit dan kembali menatap buku Bahasa Prancisnya.
---
“Oy, apa maksud surat-suratan tadi ? Lihat-lihatan wajah ? Kalian ngomongin apa sih ?!” tanya Rush tak sabar.
“Rush…” Ken berusaha menghentikan Rush.
“… Oh, ya, aku tahu… kalian pasti ngomongin aku yang lagi baca majalah ‘kan ? Ya ‘kan ? Ken ? Sam ?” lanjut Rush lagi.
“Rush…”
“Oh tidak. Bukan, bukan gitu. Kalian merencanakan penaklukan dunia ? Tidak, tidak mungkin. Kalian mungkin ingin menyebarkan foto memalukanku saat natal tahun lalu…”
“Rush…!! Dengar, kami tidak membicarakanmu. Jelas ?” kata Samantha.
“Oh…” Rush mengangguk, menghela nafas lega.
“Kau kenapa sih ? Makan kaus kaki ?” tanya Ken heran melihat sikap Rush yang tak normal.
“Tidak, tidak. Laura datang lagi. Kali ini menginap,” bisik Rush. Ken dan Samantha mengangguk penuh pengertian, menepuk punggung Rush.
Rush masih belum tenang.
“Mr. Steall…” kata sebuah suara penuh wibawa dari belakang Ken. Ken sudah bisa menebak siapa yang berbicara itu. Ia berbalik, sama sekali tak terkejut saat melihat Miss Houston berdiri berkacak pinggang.
“Ya ?” tanya Ken.
“Mengenai karanganmu…”
“Sudah kuselesaikan, Miss. Bisa kau lihat di mejamu…”
Miss Houston mengangguk, tapi tidak tersenyum.
“Bagus. Mr. Steall, ingat, aku benci anak yang suka menentang gurunya.”
Ken tak berkomentar apa-apa. Ia langsung berbalik dan menyusul Samantha dan Rush yang sudah berjalan lebih dulu. Kadang ia selalu berpikir kenapa guru Bahasa Inggrisnya ini terlalu menyebalkan.
---
Ken menatap makan siangnya. Pizza. Dan chili. Dengan jagung.
“Ugh, lihat sampah ini. Siapa yang mau memakannya ?” seru Rush jijik. “Hey, pizza-nya enak…”
Ken dan Samantha bertukar pandang geli melihat Rush.
“Jadi bagaimana kabar Angel ?” tanya Samantha.
“Uh, well, dia baik-baik saja. Kau tahu ia semakin pintar menggambar,” kata Ken. “Aku minta maaf, Sam. Tapi aku tak bisa kerumahmu malam Jum’at ini. Kau tahu tak ada yang menjaga Angel di rumah.”
“Ken, kau selalu menolak ke rumahku. Padahal ibuku ingin sekali melihatmu…” kata Sam.
“Bahkan Rush sudah ratusan kali ke sana.”
Ken menghela nafas.
“Aku tak bisa meninggalkan Angel seorang diri di rumah. Kau tahu bagaimana Todd dan Lumina…”
“Begini saja, bawa Angel bersamamu. Kau bisa menitipkannya pada ibuku sementara kita menonton Saving Private Ryan di ruang santaiku. Bagaimana ?”
“Sam, itu akan sangat merepotkan…”
“Tak apa Ken. Ibuku seorang pelukis. Banyak hal yang bisa dilakukannya dengan adikmu. Dia akan senang sekali jika ada gadis kecil yang jago gambar datang ke rumahnya.”
Ken berpikir sejenak sebelum mengambil keputusan. Akhirnya ia mengangguk dan Sam tersenyum riang.
---
Todd Steall terkapar di sofa. Tidur sambil mengorok keras. Ken terkejut saat melihat ia tidak memegang botol atau pun kaleng bir. Tidak menghirAkuan Todd, Ken masuk ke kamar Angel dan langsung duduk di sampingnya. Angel menoleh sedikit sebelum kembali menatap keluar jendela.
“Samantha mengajakku ke rumahnya malam Sabtu besok,” kata Ken. Angel menoleh dengan tampang sedih. Itu berarti ia akan ditinggal sendiri. Ken tahu kebiasaan ibunya membawa beberapa temannya sesame pekerja di bar ke rumah untuk main kartu dan minum-minum. Ken tidak akan membiarkan Angel sendirian saat teman-teman Lumina datang. “Dia mengajakmu untuk ikut juga,” lanjut Ken.
Angel tersenyum cerah dan memeluk Ken dengan penuh rasa sayang. Ken balas memeluknya. Jadi, suara sudah bulat. Mereka akan pergi.
---
“Hey ! Kau pikir kau mau kemana ?” seru Todd melihat Ken menggandeng Angel keluar dari kamarnya.
“Ini Jum’at malam,” jawab Ken.
“Lalu apa ?! Kau tidak bisa pergi begitu saja ! Lebih baik kau pergi membeli pizza untukku !!” perintah Todd.
“Aku bukan budakmu. Kau bisa pergi sendiri,” kata Ken. Ia memakaikan jaket pada Angel dan mendorongnya keluar dari pintu. “Kalau kau tetap mau pizza, ada sisa makan malam kemarin di dapur. Kau tahu, aku tidak punya begotu banyak uang untuk membelikanmu sekotak pizza ukuran besar untukmu sendiri. Aku ke rumah Sam,” kata Ken menutup pintu apartemen di belakangnya.
Ia menggandeng Angel dalam diam. Angel menoleh melihat wajah Ken dengan tatapan sedih. Ia tahu Ken sangat marah. Ia sendiri tidak menyukai Todd dan Lumina. Mereka tak pernah menyayanginya. Bagi Angel, yang ada Cuma Ken. Cuma Ken yang benar-benar di sayanginya. Ia juga menyukai teman-teman Ken yang baik, tapi ia tidak bisa menyayangi mereka melebihi sayangnya pada Ken. Angel akan melakukan apa pun agar Ken bahagia, karena ia tahu Ken akan melakukan apa pun agar Angel bahagia.
Akhirnya mereka sampai di rumah Sam. Sebuah rumah yang besar dengan taman, tempat mandi burung dan jam matahari.
“Kenneth !” sebuah suara wanita membuat Ken menoleh. Ia melihat seorang wanita kurus dengan rambut coklat dan mata yang familier. Usianya sekitar empat puluhan. Ken segera mengenalinya sebagai Mrs. Hayes, ibu Samantha. Mereka memiliki mata yang sama, meski Samantha memasang eyeliner tebal dan mascara yang membuat kesan di matanya.
“Mrs. Hayes…” kata Ken langsung menghampiri wanita itu. Angel mengekor di belakangnya.
“Akhirnya kita bertemu secara langsung. Dan ini pasti Angel…” kata Mrs. Hayes menatap Angel yang masih menggandeng tangan Ken. Angel menyembunyikan dirinya dibalik kaki Ken. “Jangan takut. Ayo masuk, Ken…”
Mrs. Hayes mengulurkan tangannya, menggandeng Angel sementara Ken membuntuti dibelakangnya.
---
Alasan terakhir Ken membenci rumahnya :
Ia tidak akan pernah menemukan keluarganya menyambut teman-temannya dengan hangat.
***
Kamis, 24 September 2009
curhat penulis 2
Pake bahasa Inggris saya yang kacau... tapi harap dimaklumi, ya... Saya orang Indonesia ( walau suka ngaku-ngaku orang Scotland...)
Oh, fanfiction di atas itu tentang ES21, dibaca, ya???
Selasa, 01 September 2009
Rush Marshall
Chapter 4
Rush Marshall and Kenneth Steall
Ken agak kaget saat melihat Rush menghampirinya dengan baju seragam tim basket sekolah. Ia sudah lupa mengenai kenyataan Rush adalah anggota tim basket. Kapten tim malahan. Sejenak ia ingin menertawakan kebodohannya sendiri.
“Jadi bagaimana makan malamnya ?” tanya Ken. Ia teringat ajakan Rush kemarin.
“Kacau. Sam dan Laura bertengkar hebat. Semua gara-gara Laura bilang tidak seharusnya seorang gadis seperti Sam memakai baju hitam-hitam kemana-mana. Dan kau tahu Sam paling tidak suka di komentari soal gaya berpakaiannya. Dan dia meledak…” jelas Rush.
Ken bisa membayangkan Sam yang meledak marah. Dia bukan tipe gadis yang akan berteriak dan membentak jika marah, dia adalah tipe yang akan bersikap dingin dan melontarkan kata-kata pedas penuh sindiran dan sarkasme. Tapi Ken juga mengenal Laura cukup baik untuk mengetahui apa yang di lakukannya kemudian. Laura adalah bibi Rush yang sudah berusia lanjut yang paling suka mengenakan baju berwarna mencolok dan menganggap didirinya masih cocok pergi ke pantai dengan bikini merah seperti cewek-cewek di Baywatch.
“Aku tidak akan marah kalau saja dia bisa menjaga mulutnya itu,” kata Sam, muncul begitu saja di belakang kedua cowok itu. “Apa yang kau lakukan di sini ? Mr. Burnt mencarimu. Rapat tim katanya. Bukankah sebentar lagi kau bertanding ?” tanya Sam pada Rush.
“Sial. Sampai ketemu nanti,” Rush segera berlari kea rah gedung olahraga.
Ken dan Sam saling bertukar pandang melihat Rush.
“Kay mau ke gedung olahraga sekarang ?” tanya Sam.
“Boleh juga,” jawab Ken.
Mereka berbalik dan berjalan menuju gedung olahraga mengikuti Rush.
---
Anne Highs menatap teman-teman barunya ini. Catherine Sunders, Yvonne Savage dan Ellena Court.
Mereka dari tim pemandu sorak, anggota klub computer dan dari klub matematika. Ketiga gadis itu tampak berbicara riang gembira, sementara Anne mendengarkan obrolan mereka sambil sesekali menanggapi. Gedung olahraga itu sudah cukup ramai. Pertandingan belum dimulai, dan tim sekolah mereka masih belum memasuki lapangan. Anne menoleh saat ia melihat pintu gedung dibuka dan ia melihat Ken dan Samantha memasuki gedung olahraga.
Ketiga gadis lainnya langsung berhenti mengobrol, mengikuti arah pandangan Anne.
“Apa sih yang kau lihat ?” tanya Yvonne membenarkan letak kacamatanya.
“Kalau mataku tak salah itu Kenneth dan Samantha,” komentar Ellena.
“Kenapa dengan mereka ?” tanya Catherine.
“tidak apa,” gumam Anne. Ia berharap mereka mulai berhenti memandanginya, tapi mereka tidak melakukan itu. Sesaat kemudian, obrolan mereka berubah menjadi “Bincang-bincang Mengenai Kenneth Steall”.
“Dia amat cerdas kau tahu,” kata Yvonne. “Kami mencoba merekrutnya untuk klub computer, tapi ia menolak karena ia mengatakan sedang sibuk.”
“Yah, kami juga pernah merekrutnya untuk klub matematika, dia juga menolak. Selau beralasan sibuk, padahal selama ini kuperhatikan tak ada yang dikerjakannya selama di sekolah,” kata Ellena.
“Jarang bergaul. Dia Cuma dekat dengan Samantha dan Rush,” tambah Catherine. “Kay tahu dia cukup tampan seandainya mau sedikit… ehm… membereskan diri, kalau kau tahu maksudku.”
“Kadang aku berpikir kalau dia hidup sendirian…” kata Ellena.
“Tidak, dia tinggal dengan keluarganya,” kata Anne tiba-tiba. Segera saja, tiga pasang mata menatapnya. “Apa ?” tanya Anne tanpa rasa bersalah.
“Sepertinya kau mengenalnya. Aku Cuma tahu ibunya bekerja di bar dengan nama beken Kitty,” kata Catherine. “Aku juga dengar dari ayahku, ayahnya itu seorang pemabuk yang sering buat masalah. Kemarin ia menghajar seorang pemulung karena tanpa sengaja menyenggolnya sepulang dari bar murahan di dekat situ.”
“Benarkah ?” tanya Anne. Ia sama sekali tak tahu keluarga Ken separah itu. Yang ia tahu adalah Ken tidak akrab dengan orang tuanya.
“Kau tidak tahu ?” tanya Yvonne. Anne menggeleng.
“Keluarganya hancur-hancuran. Ayah pemabuk, ibunya tak jelas pekerjaanya. Mereka tak pernah peduli padanya. Lalu kudengar dia juga punya seorang adik perempuan, kuharap gadis itu tak sebrengsek ibunya,” kata Catherine.
“Angel anak yang baik,” kata Anne mengoreksi.
Ketiga mata itu kembali menatapnya.
“Well, sepertinya kau mengenal keluarganya lebih baik dari kami…”
“Tidak juga,” kata Anne.
“Yang penting, aku dengar kabar ia menghajar beberapa orang pria yang mengganggu adiknya sampai babak belur. Didikan buruk,” kata Ellena.
“Tidak. Ken menyayangi adiknya, makanya ia begitu,” bela Anne.
“Ha-ha, lucu, Anne. Auk tahu kalau ada sesuatu yang tak beres pada dirinya. Lihat saja temannya, Samantha itu kutu buku yang paling sinis di sekolah, dan lihat Rush…”
“Kenapa Rush ?”
“Dia… bagaimana mengatakannya, ya ? Dia bukan cowok baik-baik. Rush pernah mencuri jam tangan mahal milik tetangganya, tapi ia tidak di tahan karena tidak adanya cukup bukti.”
“Lalu bagaimana ia bisa menjadi kapten tim basket ?”
“Apa, ya ? Kurasa karena bakatnya. Kay tahu, tanpa semua itu dia Cuma cowok tak berguna,” kata Ellena.
“Kalian terlalu berlebihan,” kata Yvonne. “Kurasa pasti ada sisi baik dari mereka. Maksudku Samantha sangat jago di kelas Sejarah Dunia dan Bahasa Prancis, dan pernahkah kalian membaca salah satu cerita yang dibuat Kenneth ?” tanya Yvonne. Ketiga temannya yang lain menggeleng tak tahu. “Dia sangat pandai menuliskannya. Meski harus kukatakan rasanya bahasa yang ia gunakan agak kasar, tapi itu sesuai dengan tema cerita yang dipilihnya. Dan Rush adalah bintang lapangan,” kata Yvonne mengeluarkan sisir danmulai menyisir rambutnya.
“U-huh ?” tanya Ellena tak tertarik. “Itu sedikit sekali di banding keburukan mereka.”
“Paling tidak mereka punya sisi baik,” kata Yvonne.
“Yah, yah, terserah deh. Hey, kau mau kemana ?” tanya Ellena melihat Catherine sudah beranjak dari tempat duduknya.
“Pertandingan sudah akan dimulai. Auk harus pemanasan dengan cheerleader yang lain,” jawab Catherine. “Jangan tertawa kalau aku jatuh, lho…”
“Tidak akan,” kata Anne mengacungkan jari kelingkingnya.
Mereka tertawa bersama, meski setelah itu, sesuatu mengganggu pikiran Anne.
---
Mereka menang dengan skor 81-56. Rush benar-benar bahagia saat ia keluar dari ruang ganti dan menemui Samantha serta Ken yang menunggunya. Mereka mengucapkan selamat, dan setelah itu diam mendengarkan jalannya pertandingan dari sudut pandang Rush.
“Dan untuk lemparan three-point yang terakhir, aku bahkan tak yakin dapat memasukkannya karena kau lihat ‘kan, betapa gencarnya mereka menghadangku, berusaha menghentikan. Tapi aku tetap focus, dan mengerahkan semua kemampuan dan…” Rush menirukan gayanya saat melakukan three-point-legenda-nya itu dengan slow motion, “… bluuusshh!!! Bola itu masuk dengan sempurna !”
“Hebat sekali, Rush. Oke, aku belok di sini,” kata Samantha menikung di persimpangan berikutnya.
“Bye, Sam !” seru Rush riang.
“Yah, bye, Ken, Rush,” Samantha berbalik dan berjalan kerumahnya sendiri.
Rush dan Ken berjalan pulang. Rush masih sibuk bercerita hingga mereka berhenti di apartemen tempat tinggal Ken.
“Kay mau masuk dulu ?” tanya Ken.
“Orang tuamu di rumah ?” balas Rush balik bertanya.
“Tidak. Lumina masih di bar, Todd masih di rumah Bonnie untuk minum-minum sambil main kartu,” kata Ken. Terkadang ia sendiri merasa kesal dengan tingkah kedua orang tuanya, tapi tidak ada jalan lain. Keluarganya memang sudah hancur.
Rush mengangguk dan mengikuti Ken menaiki tangga menuju apartemennya. Mereka masuk kedalam, Rush meletakkan ranselnya di atas sofa butut di ruang TV dan mengikuti Ken ke dapur.
“Jadi mana Angel ?” tanya Rush.
“Ku rasa dikamarnya. Mau kupanggilkan ?”
“Kalau tidak merepotkan, tidak apa-apa,” kata Rush.
Ken tersenyum, ia berjalan ke kamar Angel, mengetuk pintu sebelum membukanya. Angel duduk di atas tempat tidur seperti biasa, dengan buku gambar, crayon dan pensil.
“Hey, Ange…” sapa Ken. “Coba lihat siapa yang datang.”
Rush menongolkan kepalanya dari belakang Ken. Wajah Angel langsung menjadi cerah. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan menghampiri Rush. Rush tersenyum, ia menarik lembut tangan Angel, mengajaknya ke ruang TV. Di sana ia mengeluarkan beberapa batang coklat. Senyum di wajah Angel semakin lebar. Dan bertambah lebar lagi saat coklat-coklat itu berada dalam genggamannya.
“Dari mana kau dapat coklat-coklat itu ?” tanya Ken.
“Hey, aku membelinya di toko. Kay tahu aku suka cemilan manis,” jawab Rush.
Angel kini duduk di karpet bulukan di depan TV menyantap coklatnya. Ia menatap dua batang lagi yang belum dibuka. Tanpa pikir panjang, Angel mengambil keduanya, memberikan satu pada Ken dan satu pada Rush.
“Auk memberikan coklat ini padamu, kenapa kau kembalikan ?” tanya Rush.
Angel tetap menjejalkan coklat itu ke tangan Rush, sementara Rush berusaha menolaknya.
“Dia ingin berbagi, Rush. Kenapa tidak kau terima saja ?” kata Ken. Rush menoleh pada Ken, mengangkat bahu dan tersenyum pada Angel sebelum menyimpan coklat-nya kembali ke dalam ransel.
“Ken, aku mulai dengar gossip buruk tentangmu di sekolah,” kata Rush.
“Hey… aku ini anak dari keluarga yang hancur. Semua berita buruk di tujukan padaku,” kata Ken berusaha tersenyum seolah semua hanya lelucon.
“Ken… orang menganggap kita semua orang aneh. Walau pun aku anggota tim basket dan kapten tim, mereka semua tak pernah benar-benar menerimaku karena aku bukan bagian dari mereka. Kalau bukan karena Mr. Burnt, mungkin aku sudah di tendang jauh-jauh dari tim.”
“Auk tahu. Dan aku tahu kau tahu bagaimana aku menanggapi semuanya.”
“Samantha yang memintaku untuk mengatakan ini padamu.”
“Rush, kita sudah berteman sejak umur tiga tahun. Kay tahu banyak hal lain yang bisa kulakukan selain mengurusi masalah seperti itu. Auk tak peduli. Tapi terserah kalau kau merasa masalah ini amat penting, aku memberimu kebebasan.”
Rush tersenyum. “Auk tak peduli. Samantha juga tidak.”
“Lalu apa masalahnya ?”
“Tak ada. Kay benar. Masih banyak hal lain yang bisa diurusi.”
Setelah itu mereka mulai membicarakan hal-hala yang menyenangkan dan melihat-lihat gambar-gambar yang dibuat Angel. Setelah itu Rush melihat jam dan menyadari sudah waktunya dia pulang.
Angel sudah tidur saat Ken mengecek kamarnya. Ia bisa mendengar suara pintu di banting dengan keras dan suara Todd yang menggrutu marah. Ken tahu ayahnya pasti kalah taruhan saat di rumah Bonnie. Tak peduli, Ken kembali ke kamarnya sendiri, mengeluarkan laptopmya dan mulai menulis.
Ia teringat saat ia dan Rush masih kecil. Mereka bermain bersama dengan ibu Rush mengawasi mereka. Lumina tak pernah peduli pada Ken, ia lebih suka membiarkan Ken bermain begitu saja. Mungkin saja ia berharap Ken pergi dan tak kembali lagi. Lumina bahkan tak pernah bertanya jika Ken tidak kembali selama dua hari karena menginap di rumah Rush.
Dan saat Angel muncul di kehidupan Ken, Ken membawa serta adiknya ke tempat Rush. Miss Marshall amat menyukai Angel dan meminta Ken menitipkan Angel di sana setiap kali ia pergi sekolah. Tentu saja Ken mau, sehingga ia tak perlu cemas meninggalkan Angel di rumah bersama Todd dan Lumina.
Ken teringat saat Miss Marshall mengatakan Angel sudah bisa bicara. Kata pertamanya adalah Kenneth. Ken tak bisa menahan tangis bahagianya. Hari itu, ia memnjam dapur Miss Marshall dan membuat makan malam untuk semua orang di rumah itu. Ia bertambah gembira saat Angel mengucapkan kata yang lain. “Sayang”.
Tapi Ken tak segembira itu saat pulang dan memberitahukan berita ini pada Lumina dan Todd.
“Dia bisa bicara ? Tak kusangka…” kata Todd penuh sarkasme dalam suaranya.
“Hah ? Baguslah. Paling tidak kita akan tahu kalau dia mulai mengotori ruangan dengan pipisnya. Kay sudah membersihkan sofa ? Benda itu sangat bau,” kata Lumina.
Ken marah saat mendengar tanggapan dua orang itu yang tak peduli pada perkembangan anak mereka. Atau dalam kasus ini, anak Lumina. Ken jadi mulai berpikir bagaimana ia bisa tumbuh jadi sebesar ini dengan ayah dan ibu yang tak pernah peduli padanya.
Ken menceritakan semuanya pada Rush, dan Rush berusaha menenangkannya. Ken tak mampu mengingat kata-kata Rush, tapi yang jelas itu tentang menyemangati Ken dan ia berjanji untuk membantu Ken membesarkan Angel.
Rush adalah sahabat terbaik Ken. Ken tahu itu. Ia tidak pernah mengharapkan sahabat yang lebih baik dari pada Rush dan Samantha.
Dan mereka akan tetap memegang janjinya untuk bersamaku, menyokongku, menyemangatiku. Mereka berjanji akan melindungi Angel dari semuanya. Dan aku percaya mereka akan menepati janji itu.
Ken mengakhiri tulisannya. Ia memandang mejanya, melihat tugas Bahasa Inggrisnya yang belum di selesaikan. Membuka halaman baru di word processor-nya dan mulai menulis karangan baru untuk Miss Houston.
***
A/N : Maaf kalau ada kesalahan ejaan....
Kamis, 13 Agustus 2009
curhat penulis
Sorry ya... Hits Counter-nya baru di pasang... lupa sih...
Yah... gitu deh... Buat yang mau baca keseluruhan chapter, silahkan klik di arsip bulan Juni... saya harap di baca dari awal biar ngerti.
Kepada oknum-oknum yang memasang foto yang ada 'saya'-nya, tolong, tolong dengan sangat ditarik lagi tuh foto. Soalnya sayanya kelihatan jelek banget...
ngg... terus... buat best friend saya yang berinisial R. G. Sy. B... tolong kasih kritikan yang bagus ya.... saya perlu banget. Kirim aja ke e-mail. Atw lewat sms.
Buat N. A. C ( yang temen saya juga... ) blog-nya keren.
Trus buat N. N ( temen saya juga... ) blog-nya bagus. Abis baca saya sakit kepala dengan mata berkunang-kunang ( serius. ditambah muntah-muntah dan sakit perut secara berkala).
Oke, ini behind the scene-nya "It's All About You And Me"
Shirako : "Aku buat blog..."
Temen ( anggap namanya X ) : "Oh, trus ?"
Shirako : "di cek, ya..."
X : "sip... apa alamatnya ?"
Shirako : ( dengan kecepatan tinggi ) "takamotoshirako.blogspot.com"
X : ( bingung ) "Hah ? apaan ? ajino**to.blogspot.com ? Blog buat resep makanan ya ?"
Shirako : "...."
Jumat, 07 Agustus 2009
Samantha Hayes
Samantha Hayes
Panggilan : Sam
Usia : Seumuran dengan Ken.
Keterangan :
Teman akrabnya Ken. Iya, ngerti... gambarku masih belum seimbang. Tapi tetap tinggalin komentar ya ????
Dia pendiam ( tapi nggak juga ), dia merasa dirinya paling normal diantara mereka bertiga ( tapi nggak juga ) dan dia yang paling cantik di antara mereka bertiga ( ya, iyalah.... dia 'kan satu-satunya cewek ! )
A / N : Ayo... coba tebak.... mirip siapa nih ? Mirip Shirako nggak ??? ^_^*Ditimpukin rame-rame*
Chapter 3
The Girl Knows Him Better
Samantha Hayes keluar dari rumahnya, melihat ke langit yang kelabu. Ia mulai menggerutu kesal.
“Mom, aku pergi…” kata Samantha meninggalkan rumahnya. Mrs. Hayes keluar dari kamarnya melihat Samantha keluar.
“Sayang… kau tidak membawa payung ? Langit mendung di luar…” kata Mrs. Hayes cemas. Ia menunjuk tempat payung di sudut ruangan yang berisi berbagai jenis payung. “Atau kau lebih memilih mantel hujan ? Kau tahu aku tak ingin kau sakit atau apa…”
“Mom, aku baik-baik saja…” kata Samantha. Ia mengenakan jaket hitamnya dan berjalan keluar dari rumah. Terkadang ia merasa kesulitan dengan ibunya yang terlalu perhatian ini.
***
Sementara di tempat lain, Anne Highs menyantap sarapannya dengan nikmat di depan TV kecil di ruang makan, sementara ayahnya membaca Koran dengan secangkir kopi di depannya. Mrs. Highs sibuk memasak waffle untuk Mr. Highs.
“Sayang, jangan membaca Koran di meja makan…” kata Mrs. Highs.
Mr. Highs menurunkan korannya dan mulai menyesap kopi hangat. Ia tersenyum saat merasakan kopi itu di lidahnya.
“Rasanya enak, sayang…” ia berkata pada istrinya. Mrs. Highs tersenyum senang, sementara Anne bahagia membayangkan betapa bahagianya orang tuanya. Ia pun pergi dengan senyum di wajahnya.
***
Rumah keluarga Marshall.
Rush bangun jauh lebih cepat daripada yang diperkirakannya. Ia duduk di meja makan, menyantap sandwich-nya dalam diam sementara ibunya masih asyik menonton TV sambil melahap sekantong besar keripik kentang. Sesekali, Rush bisa mendengar ibunya terkekeh dan mengomentari tiap kata yang diucapkan oleh penyiar berita di TV.
“Rush… pastikan kau pulang lebih cepat hari ini. Laura akan datang untuk makan malam. Aku tak tahan jika harus menghadapinya semalaman di meja makan,” kata Miss Marshall pada Rush yang sudah menyambar ranselnya.
“Kau bercanda ?” tanya Rush.
“Aku serius, Rush. Oke, kau boleh mengajak siapa pun untuk ikut makan malam. Aku akan lebih lega kalau ada orang lain yang ikut makan malam. Paling tidak itu bisa mencegahnya bicara terlalu jauh.”
“Ken dan Sam tidak akan mau…”
“Paksa mereka. Oh, sampaikan salamku pada Ken !” seru Miss Marshall saat Rush sudah melesat keluar dari rumah.
***
Ken membuat sandwich-nya sendiri, membungkusnya dengan tissue dan memakannya sambil berjalan ke halte bus setelah mengucapkan salam pada Angel yang masih tidur.
***
Mereka duduk mengelompok di perpustakaan. Seperti biasa, Samantha dengan hidung tenggelam dalam buku; Ken duduk dengan laptop terbuka di pangkuannya, sibuk mengetik sesuatu; sementara Rush duduk diatas meja, sibuk menceritakan pengalamannya selama bolos sekolah dengan suara rendah.
“Dan kau tahu ? Aku berteriak padanya kalau bajunya lebih cocok di pakai si nenek daripada dirinya !!” kemudian Rush menertawakan leluconnya sendiri. Ken tersenyum menanggapinya sementara Samantha memperhatikan suasana di sekitar mereka dan kembali membenamkan wajahnya di balik buku karena saat ini beberapa pasang mata menatap mereka dengan pandangan terganggu.
“Rush…” desis Samantha penuh peringatan. Rush Cuma menatapnya sejenak sebelum mengangkat bahu dan melirik ke layar laptop Ken.
Ken menatapnya kesal, berusaha menutupi layar laptopnya. Rush terkekeh melihat sekilas apa yang di tulisnya.
“Masih tergila-gila pada adikmu, hah Ken ?” tanya Rush nyengir.
“Diam, Rush. Aku tidak tergila-gila pada Angel,” kata Ken.
“U-huh ? Tapi kau menulis semua tentang dirinya di laptop-mu itu,” kata Rush. “Dan kau memukuli beberapa orang karena mengganggu Angel.”
“Angel memerlukan perlindunganku, Rush. Dia anak yang serapuh kaca.”
Rush tersedak menahan tawa.
“Kau berbicara seperti tokoh novel abad pertengahan…”
“Rush, kau mengalihkan pembicaraan,” kata Ken.
Rush mengangkat bahu.
***
“Rumahmu ?” tanya Samantha tak percaya.
“Ayolah, man…” bujuk Rush.
“Dan woman…” tambah Samantha.
“Terserahlah. Aku tak akan tahan menghadapi Laura berdua saja dengan ibuku…” kata Rush. “Please…?”
Ken menggeleng.
“Hari ini Jum’at, Todd dan Lumina keluar semalaman. Todd pergi ke bar, Lumina pergi entah kemana. Aku tidak bisa meninggalkan Angel sendiri di rumah.”
“Samantha ?” tanya Rush penuh harap.
Samantha mengangkat bahu sambil berkata, “Terserah.” Rush tersenyum bahagia.
“Trims, Sam. Bolehkah aku mengatakan I love you ?” tanya Rush nyengir.
“Ha-ha. Lucu sekali, Rush.”
Ken tak bisa berkomentar apa-apa pada dua temannya yang kini mulai bertengkar. Ia Cuma tersenyum sambil terus mengikuti kedua orang itu dari belakang.
***
Ken berjalan pulang dalam diam, melintasi lorong-lorong sempit di antara pertokoan. Saat itulah matanya menangkap satu sosok yang akrab. Anne Highs berjalan berkeliling, melihat-lihat pajangan di etalase toko. Ken menghampirinya.
“Hey,” sapa Ken.
“Hai,” balas Anne. “Syukurlah kau di sini. Aku tersesat saat akan pulang dari department store di sana. Kau bisa tunjukkan jalan ?”
“Tentu, dimana rumahmu ?” tanya Ken.
Anne menjelaskan dimana rumahnya sementara Ken mendengarkan dan memberi petunjuk. Tapi, belum sempat ia menyelesaikan penjelsannya, hujan deras turun membasahi mereka. Anne merogoh tasnya, menyadari ia lupa membawa payung. Ken otomatis melindungi ranselnya dari hujan dan memasang parasut untuk melindungi tas dari air.
“Mau berteduh di rumahku dulu ?” tanya Ken. “Rumahku tak jauh dari sini.”
“Boleh saja,” sahut Anne diantara derasnya suara hujan.
Mereka berlari, Ken memandu jalan, berbelok beberapa kali di jalan-jalan sempit. Anne mengikutinya dalam diam. Hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah gedung apartemen bobrok. Ken menaiki tangga menuju lantai dua dan membuka pintu.
“Angel ? Aku pulang,” kata Ken.
“Angel ?” tanya Anne.
“Adikku,” Ken segera pergi ke dapur. Dapur itu kosong, Todd sudah pergi. Ken mengajak Anne ke dapur, memberikan handuk dan membuatkan teh untuk Anne.
Saat itulah Angel keluar dari kamar, melihat siapa yang datang. Ia terkejut melihat Anne yang duduk di kursi dapur sementara Ken tengah mengeringkan rambutnya sendiri. Angel langsung mendatangi Ken, mencengkram ujung baju Ken. Anne memperhatikan semua itu. Ia turun dari kursi dan menghampiri Angel, berjongkok agar mereka berdua sama tingginya ( atau Angel sedikit lebih tinggi, tapi terserahlah…).
“Hai. Namamu Angel ?” tanya Anne.
Angel makin bersembunyi di balik kaus Ken.
“Ange, ini temanku, Anne Highs,” kata Ken memperkenalkan Anne.
Angel mengangguk. Kemudian ia berbalik dan pergi ke kamarnya sendiri. Anne menatapnya penuh tanda tanya.
“Anak yang manis,” gumam Anne.
Ken menatapnya sejenak. Dalam hati, ia setuju pada kata-kata Anne. Angel aadalah gadis paling manis sedunia, paling tidak itu menurut Ken. Anne menyesap tehnya dalam diam. Ia menatap berkeliling, memperhatikan tiap sudut dapur ini. Dapur itu tampak kumuh dan sempit. Meski Anne melihat bahwa setiap benda disusun dengan rapi.
“Jadi dimana ibumu ?” tanya Anne berusaha membuka percakapan.
“Maksudmu Lumina ? Dia pergi,” jawab Ken. Dia pergi bekerja di bar dan baru akan pulang besok, imbuh Ken dalam hati.
Anne tak berkomentar apa-apa mendengar cara Ken membicarakan ibunya. Mungkin hubungan mereka tak begitu mulus… pikir Anne. Ia diam sejenak, memperhatikan keluar jendela, berharap hujan segera berhenti. Kesunyian mengembang di udara membuat Anne merasa harus membuka percakapan dengan Ken.
“Jadi rumahmu selalu seperti ini ? Maksudku sepi ?” tanya Anne. “Apa di siang hari kau selalu berdua saja dengan adikmu ?”
Ken memandang Anne sekilas sebelum menjawab,
“Yah, sejenis itu. Biasanya Todd ada di dapur sepanjang hari, tidur.”
“Todd ?” Anne tak mengerti.
“Ayahku, atau kalau masih bisa disebut seperti itu.”
Anne mulai memahami sedikit persoalan di rumah ini. Hubungan antara Ken dan orang tuanya sama sekali tidak baik. Hanya saja ia merasa ingin tahu apa masalah sebenarnya. Tapi ia terlalu takut untuk bertanya langsung pada Ken. Rasanya tak sopan begitu saja mencari tahu urusan pribadi orang lain. Anne kembali teringat gadis kecil itu, Angel… ia tahu Ken begitu menyayangi Angel, sifat Ken yang begitu melindungi Angel dan sikap Angel padanya. Anne tahu hubungan antara kakak beradik itu jauh lebih mulus dari pada hubungan Ken dan ibunya. Bukan, bukan hanya mulus, tapi mereka berdua tak pernah bertengkar, karena Ken begitu melindungi Angel; dan di sisi lain, Angel adalah gadis yang penurut dan tak banyak membantah.
Anne tersentak saat Angel kembali memasuki dapur dengan sebuah kertas gambar di tangannya. Ia langsung menghampiri Anne dan menyodorkan kertas itu. Anne menatapnya sejenak, kemudian memandang Ken. Ken memberi anggukan setuju dan Anne mengambil kertas itu. Ia melihat isinya, terbelalak kagum saat melihatnya. Itu adalah sebuah gambar, replika sempurna dari pemandangan lorong kumuh di luar apartemen bobrok itu yang dilihat Angel dari jendela kamarnya.
“Trims, Angel. Jadi apa judulnya ?” tanya Anne menatap wajah Angel yang tersenyum melihat Anne senang dan kagum. Anne tanpa ragu mengakui senyum Angel bagaikan senyum malaikat. Sekarang ia tahu kenapa Ken begitu menyayangi Angel.
Angel tak menjawab. Ia malah berbalik dan masuk kembali ke kamarnya. Anne menatap Ken penuh tanda tanya.
“Dia tidak pernah bicara sejak dua tahun yang lalu,” kata Ken.
“Oh,” gumam Anne. Sekarang ia mulai memahami ekspresi sedih yang terkadang muncul dimata Ken saat ia menatap Angel.
Sekali lagi Anne menatap keluar jendela, menyadari hujan sudah mulai mereda, hanya tersisa titik-titik gerimis.
“Sebaiknya aku pulang sekarang,” kata Anne bangkit dari kursinya.
“Mau kuantar ?” tanya Ken.
“Tidak usah, ‘kan tadi kau sudah menjelaskan jalannya padaku. Aku masih ingat, kok. Lagipula kasihan Angel ditinggalkan sendirian di sini. Aku titip salam buatnya, ya.”
Ken mengantar Anne sampai pintu depan.
“Trims Ken, buat tehnya dan sampaikan terima kasihku pada Angel untuk gambarnya. Bagus sekali.”
Setelah itu Anne berjalan menjauh. Ken terus mengawasi hingga ia menghilang di tikungan menuju jalan utama. Ken masuk kembali ke apartemen.
***
Angel duduk di kamarnya. Hatinya benar-benar gembira saat melihat ekspresi bahagia di wajah Anne tadi. Dia merasa senang ada orang lain yang menyenangi karyanya. Ken selalu memuji semua yang dilakukannya, dan menegurnya dengan lembut jika melakukan sesuatu yang buruk. Tapi untunglah hal itu jarang terjadi karena Angel selalu berusaha membuat kakaknya bahagia.
Angel menoleh saat melihat Ken memasuki kamarnya.
“Kau memberikan gambar itu pada Anne. Apa kau menyukainya ?” tanya Ken. Ia tak pernah melihat Angel memberikan gambar begitu saja pada orang lain.
Angel mengangguk. Ia mengeluarkan satu gambar lagi dari balik bantalnya dan menunjukkannya pada Ken.
Gambar seorang gadis berdiri menggandeng tangan seorang cowok yang dikenali Ken sebagai dirinya.
Hanya saja Angel belum menggambar wajah gadis itu. Ken menunjuk gambar si gadis dan bertanya pada Angel,
“Ini siapa ?” tanya Ken.
Angel tersenyum jail, ia mengambil lagi gambar itu dari Ken, menggulungnya dan menyimpannya di sudut kamar. Sama sekali tak menjawab pertanyaan Ken. Ken Cuma tersenyum mengangkat bahu dan mengacak rambut Angel sebelum kembali lagi kekamarnya.
Disana ia kembali membuka laptopnya dan mulai mengetik.
A/N : Maaf kalau banyak salah eja di sana-sini. Saya nggak sempat ngecek nih... kalau ada yang salah eja, tolong kasih tau. Akan segera di perbaiki...
Sabtu, 11 Juli 2009
Angel Steall
Angel Steall
Panggilan : Angel
Usia : saat ini enam tahun
Keterangan :
Dia adalah adik perempuan Ken. Sangat pandai menggambar. Dia tidak bisa ( atau tepatnya tidak mau ) bicara sejak dua tahun yang lalu. Angel sangat pandai menggambar dan menyukai coklat dan makanan-makanan manis lainnya. Suaranya juga lumayan bagus.
A/N : Jaket yang dipakai Angel di gambar ini punya Ken. Btw, gamabarnya bagus nggak ???
Chapter 2
Best Friend and The Girl Next to Him
Gadis itu bernama Anne Highs. Rambutnya hitam panjang, lurus, wajah manis. Pakaiannya memang bukan dari merk yang mahal, tapi jelas mereka tampak bagus saat dikenakan olehnya. Ia murid pindahan yang baru datang hari ini. Ken melihatnya pertama kali di kelas matematika, saat gadis itu maju untuk menyelesaikan sebuah persamaan yang sulit di papan tulis.
Ia Cuma memperhatikannya sekilas, tak tertarik. Ia juga tak tertarik dengan fakta bahwa gadis itu duduk di sebelahnya di kelas itu, mengundang gumaman kecewa dari beberapa siswa lain di kelas.
“Hai, aku Anne Highs… mungkin kau sudah tahu…” kata Anne mengulurkan tangannya.
“Kenneth Steall,” kata Ken menjabat tangan Anne.
Mereka berjalan keluar dari ruang kelas, menuju ruang loker, mengambil buku untuk pelajaran berikutnya. Dari ujung koridor, Stanley dan teman-temannya mulai bersiul keras.
“Oy, Highs ! Ngapain kau main-main sama cowok jelek itu ?” seru Stan. “Kau mau terlihat bodoh, ha ?” seperti biasa, suara tawa teman-teman Stan berderai. Ken Cuma mengangkat bahu tak peduli. Ia terus berjalan.
Anne menyusulnya dengan wajah sebal.
“Apa dia selalu seperti itu ?” tanya Anne berusaha menjajari langkah cepat Ken.
Ken menggumamkan sesuatu yang tidak dapat di dengar Anne. Anne terus mengikutinya hingga mereka sampai di ruang loker. Mereka mengobrol santai. Oke, mungkin Cuma Anne yang berbicara sementara Ken Cuma menanggapi sedikit.
“Hey, Ken…” sapa Samantha yang tengah memasukkan bukunya ke dalam loker. Ia menatap gadis yang berdiri di sebelah Ken. “Oh, maaf. Namaku Samantha Hayes…” kata Samantha memperkenalkan dirinya.
“Aku Anne Highs. Senang bertemu denganmu, Samantha…” Anne tersenyum menatap gadis berambut panjang kecoklatan di hadapannya ini. Samantha seorang gadis yang cantik, tinggi, wajah kurus dan tegas… singkatnya sempurna.
Paling tidak itu menurut Anne. Anne ingin memiliki mata seperti itu. Kelabu pucat dengan bentuk tajam dan indah. Samantha amat pandai menghias matanya sedemikian rupa dengan mascara, hingga mata itu terlihat jauh lebih indah lagi.
“Anne ? Kau tidak mengambil barang-barangmu ?” tanya Samantha, membuat Anne tersentak dari lamunannya.
“Ap… aku ? Oh, ya… tentu saja. Tunggu, dimana Ken ?” tanya Anne.
“Ken sudah ke kelasnya lebih dulu. Aku duluan, ya,” kata Samantha. Ia melambai pada Anne.
Anne membuka lokernya dan mengeluarkan buku-buku dan melesat ke kelasnya sendiri.
Ken mengeluarkan laptopnya, dan meletakkannya di pangkuan. Sejenak ia duduk diam di depan word processor yang hanya menunjukkan nhalaman putih kosong. Jari-jari Ken menyentuh keyboard tapi tidak menekannya. Lama ia menatap langit-langit kamarnya yang kosong. Memikirkan apa yang akan ia tulis.
Ia memikirkan satu kata… mengangkat tangannya dan mulai mengetik. Suara ketikan tangan itu terdengar dengan tempo yang teratur. Jari-jari Ken bergerak lincah di sepanjang keyboard laptop.
Pernahkah kau merasakan sesuatu seperti yang kurasakan saat ini ? Yeah, memiliki ibu yang brengsek, ayah pemabuk tua… tapi memiliki adik perempuan manis yang secantik malaikat ?
Kau memiliki rumah di daerah kumuh, dengan dua kamar tidur. Satu untuk ibumu, satu untuk adikmu, sementara kau menemukan dirimu terbangun setiap pagi menatap langit-langit gudang sempit yang seumur hidupmu kau sebut “kamar”. Itulah yang kurasakan.
Kau bisa saja tertawa membaca tulisan ini. Mungkin semua hal terdengar lucu bagimu seperti pecundang yang kutemui di sekolah. Tapi aku tidak bercanda. Kalau kau berada dalam posisiku, mungkin kau akan kabur saja dari rumah ini tanpa perlu berpikir dua kali.
Tapi tidak denganku.
Aku tidak akan meninggalkan adikku sendiri. Aku tidak akan meninggalkan gadis kecil manis yang selisih umurnya delapan tahun dari umurku. Aku akan terus bersamanya, aku akan melindunginya dari semua orang yang ingin menyakitinya. Aku −
Tangan Ken terhenti saat ia mendengar suara pintu yang di buka. Ia melihat siapa yang berdiri di ambang pintu kamarnya dan ia tersenyum saat melihat siapa itu. Angel berdiri di sana. Sebelah tangannya memegang boneka Teddy kesayangannya sementara tangan yang lain memegang sebuah buku gambar tipis yang di kenali Ken sebagai buku gambarnya.
“Hai, Ange…” sapa Ken. Ia meletakkan laptopnya ke atas tempat tidur dan melompat, menuntun Angel agar masuk ke kamarnya. Angel mengikutinya dalam diam. Ken mendudukkan Angel di pangkuannya, sementara ia terus mengetik di laptop-nya.
Aku akan melakukan apa pun, apa pun untuk membuat Angel bangga.
Ken menjauhkan laptop-nya dan memeluk Angel. Ia mulai mengayun Angel, maju mundur… menggumamkan sebuah lagu yang ia sendiri tak yakin pernah di dengarnya di mana. Angel tak bergerak dalam pelukan Ken, tapi Ken tahu, Angel suka di peluk. Ia ingat saat Angel dulu akan menyambutnya sepulang sekolah dan meminta Ken memeluknya.
“Kau tahu Ange… kau memiliki suara yang bagus…” kata Ken. Ia terus mengayun Angel. “Aku ingat saat kau menyanyikan lagu ‘Twinkle-twinkle Little Star’ versi rap saat masih berumur tiga tahun. Lucu sekali…”
Ken menunduk, melihat Angel tersenyum, meski tidak berkata apa-apa. Tanpa sadar, Ken juga tersenyum, mengelus lembut pipi Angel.
“Hei, Ange… aku suka melihat senyummu…” kata Ken. Ia memeluk Angel, melindunginya dari semua yang ingin menyakitinya. Angel merapatkan kakinya ke badannya, menggulung seperti bola.
Ken kembali menyenandungkan lagu itu sekali lagi… Sementara Angel menikmati terayun-ayun dalam pelukan Ken. Ken membaringkan Angel di sampingnya, terus bersenandung, menatap langsung mata biru jernih milik Angel. Kemudian, ia mulai membuat suara-suara dan wajah aneh, membuat Angel tersenyum semakin lebar. Tapi masih belum ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir mungilnya.
Ken terus bermain dengan suara dan wajahnya, hingga Angel lelah dan dia tertidur. Ken menatap wajah gadis kecil itu. Melihat betapa tenangnya ia tidur. Ken tersenyum samar, mengambil lagi laptop-nya dan mulai mengetik.
---
“Mr. Steall… bisa kita bicara sebentar ?” tanya Miss Houston, guru Bahasa Inggris berperawakan langsing dengan wajah tegas yang cantik. Ken mengangkat kepalanya dari tugas yang tengah ia kerjakan.
Miss Houston menunggunya sebentar. Ken bangkit dari tempat duduknya, mengikuti Miss Houston. Jelas wanita muda itu tampak kurang senang akan sesuatu, dan dalam hati Ken bisa menebak apa yang ada di pikirannya.
“Mr. Steall, aku sudah membaca karanganmu. Sangat bagus, tetapi…”
Ken mampu menebak lanjutan kalimatnya.
“… menurutku kau terlalu kasar dalam mengungkapkan sesuatu, Mr. Steall. Ini tidak seperti karangan yang di buat oleh anak berusia empat belas tahun,” kata Miss Houston. “Apa benar kau yang mengarang semua ini ?”
Ken menatap langsung mata Miss Houston.
“Aku membuatnya sendiri.”
“Well, kalau begitu semuanya jauh lebih mudah. Dengar, aku tahu kau pintar, kau memang mapu menulis sesuatu seperti ini, tapi Mr. Steall, rasanya tulisan ini tidak cocok untuk tugas sekolah. Dan kuminta kau menulis ulang seluruh karangan ini dengan bahasa yang lebih baik.”
“Kalau anda tak mengerti isi karangan itu, jangan suruh saya mengulangnya, Miss Houston. Kenapa tidak anda saja yang sebaiknya mulai mencoba untuk mengerti isinya?”
“Mr. Steall, aku tidak mengharapkan bantahan darimu. Aku hanya meminta kau mengulangi karangan itu. Dan lagi tema yang kau pilih terlalu berat… kenapa kau tidak mencoba sesuatu yang… kau tahu… lebih ringan ?”
“Miss Houston, anda tidak akan pernah membaca The Lord of The Ring jika mengharapkan J. R. R. Tolkien memilih tema yang lebih ringan. Mungkin judulnya malah akan jadi The Elf and The Human Love Story. Intinya Miss, saya menolak menulis ulang karangan itu,” kata Ken.
Miss Houston mendesah.
“Mr. Steall, aku akan memuat cerita terbagus ini di Koran sekolah. Bagaimana aku bisa memuat cerita seperti ini di sana ?”
“Ya sudah. Aku tidak meminta anda memasukkan cerita ini ke Koran sekolah.”
“Mr. Steall, ini menyangkut nilai pelajaran Bahasa Inggrismu. Sekarang kau tinggal memilih apa akan menulis ulang karangan ini atau mendapat nilai F untuk semua tugas Bahasa Inggrismu. Selamat pagi, Mr. Steall,” Miss Houston berbalik, menyodorkan karangan Ken dan pergi begitu saja.
---
Samantha Hayes menatap cowok di depannya ini dengan tatapan memelas. Mereka tengah di perpustakaan sekarang, Samantha membaca buku sementara Ken mengetik sesuatu di laptopnya.
“Kau gila ? Melawan Miss Houston seperti itu ?!” bisik Samantha.
“Kukatakan padanya, aku tidak akan mengulang karanganku,” balas Ken berbisik.
“Sama saja kau meminta nilai F untuk semua test Bahasa Inggrismu.”
“Dia sudah mengancamku dengan itu.”
“Ken …!” Samantha tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya.
“Jangan konyol, Sam, aku…” omongan Ken terhenti melihat sosok yang berdiri di belakang Samantha.
“Oh, hai Rush…” sapa Ken.
Samantha menoleh dan melihat Rush Marshall berdiri di belakangnya. Cowok itu tersenyum, langsung duduk di sebelah Samantha. Rush Marshall adalah seorang cowok jangkung berkulit gelap dengan rambut hitam pendek ( rambutnya terlalu pendek sehingga ia mengenakan sebuah kupluk untuk menutupinya ).
“Well, kudengar seseorang diminta Miss Houston menulis ulang semua karangan Bahasa Inggrisnya…” kata Rush.
“Rush, kapan kau kembali ?” tanya Samantha mengernyit heran.
Rush Marshall tersenyum. Ken mengenal baik kebiasaan anak yang satu ini. Hobi bolos, Cuma muncul di sekolah beberapa kali sehari. Mereka berteman baik. Keluarga mereka agak mirip. Hanya saja Rush tak punya masalah dengan ayahnya, karena anak ini bahkan tak tahu siapa ayahnya. Tapi ia tak peduli. Rush selalu mampu melalui hari-harinya dengan tenang tanpa harus terganggu. Dan hari itu sudah sepuluh hari lebih Rush tidak hadir di sekolah. Bukannya ada yang peduli.
Ken Cuma tersenyum mengingat kebiasaan Rush.
“Kau tahu Mr. Lewis mulai bertanya-tanya kemana kau pergi. Kurasa dia benar-benar marah padamu,” kata Samantha.
“Kau bohong,” kata Rush sambil tersenyum. “Aku sudah meneleponnya dan berkata,” Rush melengkingkan suaranya hingga menyerupai suara perempuan, “’Mr. Lewis ? Saya salah satu kerabat Rush Marshall… ya, sir, anak yang itu. Saya menelepon ingin memeberitahukan bahwa hari ini Rush tidak bisa masuk… mungkin untuk beberapa hari… ya, sir… berita duka, neneknya baru saja meninggal dan dia harus pulang… ya… terima kasih, sir…’ Nah, bagaimana ia bisa marah sementara ‘nenekku’ baru saja meninggal ?” ia melempar pandangan geli pada Ken. Ken nyengir, sementara Samantha mengerang kalah.
“Owww…! Oke, kau menang !!” seru Samantha, dan ia menerima ratusan suara “Sssshhh….!!!” Dan pandangan menegur dari penjaga perpustakaan. Samantha menyembunyikan wajahnya dibalik buku.
Ken dan Rush bertukar senyum memandang Samantha.
---
Anne Highs baru memperhatikan anak itu di kelas matematika-nya. Dia duduk tepat disebelah kiri Ken. Dia tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Kalau tak salah namanya Rush Marshall. Anak itu kelihatannya cukup dekat dengan Ken. Yah, kalau tidak dekat bagaimana mungkin mereka bisa tertawa seperti itu ? Dan… ugh, sekarang Mr. Howard memberikan pandangan penuh ancaman pada mereka berdua… berarti sebentar lagi…
PLETAK!!!
Sebuah spidol mendarat dengan keras di kepala Rush, membuatnya berseru kaget. Tangannya otomatis memegang bagian yang terkena lemparan.
“Mr. Marshall… Mungkin akan lebih berarti jika kau menyimak pelajaranku, bukannya membuat acara komedi murahan di belakang sana…” kata Mr. Howard penuh peringatan. Rush hanya terkekeh melihat ekspresi Mr. Howard saat mengatakan hal itu. Ken Cuma menggeleng sambil bergumam “moron” dan kembali menatap buku catatannya.
Anne Highs berusaha kembali serius dengan catatannya, tapi Rush mulai mendengungkan lagu dengan aneh, membuat dia tak dapat menahan tawa. Kelas Matematika itu berlalu dengan Mr. Howard berusaha menahan amarahnya.
A/N : Untuk yang berikutnya, blog ini akan di up-date mungkin sebualn atau dua bulan sekali... Tapi jika ada up-date yang lebih cepat, silahkan cek saja...
Selasa, 07 Juli 2009
Kenneth Steall
Chapter 1
The Boy Who Has No Future
Mrs. Stagerson menatap anak laki-laki di hadapannya ini. Menatap kertas-kertas yang baru saja diserahkan anak itu. Ia tak percaya anak berjaket lusuh ini menyelesaikan tugasnya dengan begitu sempurna. Oke, mungkin tidak sempurna, tapi mendekati.
“Katakan padaku, Steall, kau mengerjakan semua ini ?” tanyanya tak percaya.
“Ya,” jawab Kenneth Steall.
“Sendiri ?”
“Ya.”
Mrs. Stagerson mengangkat alisnya, mengangguk. Ia mulai memeriksa makalah anak-anak yang lain.
---
“Dia anak yang cerdas.”
“Ya, sayang dia dibesarkan di keluarga yang salah…”
“Mungkin karena itu sikapnya agak…”
“Apa ? Kurang ajar ?”
“Kau membaca pikiranku.”
“Patut disayangkan. Kau tahu, dengan otak dan kemampuannya, dia akan jadi orang yang luar biasa. Aku yakin itu…”
“Tapi dengan keadaannya saat ini…”
Kedua wanita itu terus berjalan menjauh.
---
Stanley Hamilton bisa di bilang rajanya seluruh berandalan di kota. Ken tahu itu. Dan dia juga tahu sebaiknya tidak membuat masalah dengan anak yang Cuma punya otot tapi tidak punya otak itu. Bukannya dia suka mencari masalah dengan Stan, tapi Stan selalu mencarinya untuk membuat masalah baru.
Ken berdiri tanpa sedikit pun rasa takut saat ia menatap Stan dan teman-temannya. Oke, mungkin dia agak gugup, tapi ia menekan semuanya sampai batas kemampuannya. Ken melintasi mereka tanpa rasa takut. Ia mendengar Stan berteriak dibelakangnya.
“Oy, Steall! Bagaimana kabar ibumu yang brengsek itu ?!!” seru Stan.
Semua teman-temannya tertawa mendengar lelucon yang tak lucu itu. Ken tak menggubrisnya.
Terserah dia mau mengata-ngatai Lumina Steall. Ken tak peduli. Tapi tampaknya Stan tak puas dengan respon yang diberikan Ken. Ia kembali mengeraskan suaranya, berseru pada Ken,
“Kau tahu ? Adikmu sama brengseknya dengan ibumu, Steall !! Idiot !”
Lagi-lagi tawa teman-teman Stan terdengar.
Ken tak mampu lagi menahan emosinya. Boleh saja ia menghina Lumina, terserah, tapi tidak dengan Angel.
Tanpa pikir panjang, Ken melemparkan ransel bututnya, berlari menerjang Stan, tapi sebuah tangan menahannya, membuat gerakan Ken terhenti. Ia berbalik melihat siapa yang menahannya.
Samantha Hayes memandangnya dengan kening berkerut, menggeleng.
“Apa yang kau lakukan ?” tanya Samantha setelah menyeret Ken menjauh dari Stan dan teman-temannya yang mulai tertawa mengejek Ken. “Kau hampir saja memasukkan dirimu ke dalam masalah besar, Ken !” Ken menepuk ranselnya untuk menepiskan debu yang menempel ( yang baru saja menempel, karena yang lama melekat begitu kuat sehingga sulit membersihkannya, bahkan pemilik laundry paling mahal pun akan menggeleng menyerah dan mencampakkan tas itu ke tong sampah ). “Apa yang dia lakukan hingga kau marah ?”
Ken berusaha mengatur lagi emosinya sebelum menjawab.
“Dia menghina Angel.”
Samantha menghela nafas.
“Dan kau marah karena itu ?”
“Dia mengatakan Angel brengsek seperti ibuku !”
“Lalu ?”
“Sam… kau ini bodoh atau apa ? Angel tidak seperti itu… Dia memang… berbeda… tapi dia tidak seperti ibuku.”
“Dia memanfaatkan kelemahanmu, Ken. Kau tahu dia dapat nilai F untuk paper biologinya sementara kau dapat A+.”
“Itu bakan alasan untuk menghina Angel.”
“ya, aku tahu. Dia hanya ingin membuatmu marah.”
Ken menghela nafas, berusaha meredakan emosinya. Sam benar, pikir Ken. Tapi jika semua ini telah menyangkut dengan Angel, ia akan mulai kehilangan control. Apa yang ia pikirkan ? Dia bisa terlibat lebih banyak masalah jika tadi ia memang memukul telak Stan. Sudah cukup ia ditegur karena memukuli orang-orang yang menganggu Angel dua minggu yang lalu.
“Kau benar,” kata Ken mengakui. “Trims, Sam.”
Ken berbalik dan pergi. Sementara Samantha tersenyum samar.
---
Ken kembali pulang ke tempat sempit di daerah kumuh itu. Menaiki tangga apartemennya. Ken tidak terkejut sama sekali saat menemukan apartemen itu dalam keadaan kosong. Todd Steall pasti sedang keluar, bertemu dan mabuk-mabukkan bersama teman-temannya sesama pengangguran. Ken tak peduli. Hal yang pertama di lakukannya adalah mengecek kamar Angel.
Angel duduk di sisi tempat tidurnya dengan sebuah buku gambar terbuka di pangkuannya. Angel menoleh saat Ken masuk ke kamar dan berjongkok disisinya, melihat apa yang tengah ia gambar.
Gadis kecil itu tidak mengatakan apa-apa. Lagi-lagi, ini bukan sesuatu yang membuat Ken terkejut.
Semua itu terjadi sejak dua tahun yang lalu. Angel pulang dalam keadaan menangis, penuh luka, sementara hujan terus membasahinya. Keesokan harinya ia demam tinggi, dan kehilangan suaranya. Dan entah kenapa setelah itu, Angel tidak lagi berbicara. Meski menurut dokter ( Ken menghabiskan seluruh tabungannya untuk membawa Angel ke dokter ) tidak ada lagi masalah pada tenggorokan Angel dan seharusnya ia sudah bisa lagi berbicara seperti biasa.
Dan begitulah, Angel berhenti bersekolah, menjalani hari-harinya di dalam kamar sempitnya dengan wallpaper merah muda yang sudah lusuh.
Ken mengangkat tangannya, membelai lembut kepala Angel. Angel tampak tak menggubrisnya, terus asyik mewarnai gambar yang tengah di buatnya. Ken menyadari gambar itu amat bagus, Angel pandai menggambar.
“Siapa mereka ?” tanya Ken lembut. Jelas ia melihat gambar seorang remaja cowok dan seorang gadis kecil di sampingnya, saling bergandengan tangan.
Angel tak menjawab. Ken mengamati gambar itu. Ia tahu siapa mereka.
“Kau tahu, kau sangat berbakat, Angel…” kata Ken. Ia mengelus lembut pipi Angel dengan jarinya. Angel tetap sibuk dengan gambarnya. “Aku menyayangimu.”
Ken bangkit, keluar dari kamar. Ia mendengar suara pintu dibanting menutup. Ayahnya sudah pulang. Ken tak peduli. Ia masuk kekamarnya sendiri, melempar ranselnya begitu saja dan langsung menyambar laptopnya. Ia kembali teringat Angel yang tidak lagi bicara, ayahnya yang pemabuk, ibunya yang tak jelas kerjanya…
Keluarganya hancur. Sepanjang ingatan Ken, tak pernah sekali pun ia melihat ibu dan ayahnya ( kalau dua orang itu bisa di sebut ibu dan ayah ) mengobrol riang seperti keluarga-keluarga lain yang ia lihat di acara TV. Mereka hanya akan saling bertukar kata dengan nada dingin. Hingga suatu hari emosi kedua orang itu mencapai batasnya dan ibunya pergi dari rumah. Ken mungkin masih kecil saat itu, tapi ia masih bisa mengingat setiap momen dengan baik. Saat Lumina membentak Todd, saat Todd memukuli Lumina, saat Lumina akhirnya menghambur ke arah pintu dan membantingnya hingga menutup.
Ken memejamkan matanya, berusaha mengingat setiap momen yang terjadi setahun setelah kejadian itu.
Lumina kembali, dengan sebuah buntelan kain biru lusuh yang berisi seorang bayi perempuan kecil yang manis dengan mata biru kehijauan yang mengagumkan. Todd tak berkomentar apa-apa dengan kembalinya Lumina. Ia bahkan tak tertarik untuk melihat buntelan yang dibawa oleh istrinya itu.
“Aku kembali, Todd,” Ken masih bisa mengingat kata-kata Lumina saat itu. Todd Cuma mendengus, mengacuhkan istrinya. Lumina meletakkan bayinya begitu saja di atas sofa lusuh di ruang tamu mereka. Saat itulah Ken beringsut ke sofa melihat bayi itu. Dalam sekejap saja, Ken menyayangi bayi mungil itu.
“Bayi siapa itu ?” tanya Todd.
“Bayiku,” jawab Lumina dingin.
“Dia punya nama ?”
“Aku tidak mengharapkan memilikinya, Todd. Dan satu hal yang jelas, dia bukan putrimu.”
“Kenapa tak kau berikan saja pada ayahnya ?”
Lumina menghela nafas emosi.
“Aku tak tahu siapa ayahnya !!”
Todd mendengus, tertawa mengejek.
“Rasakan. Dasar perempuan murahan,” maki Todd. “Kenapa tak kau buang saja ?”
“Aku tidak mau masuk penjara lagi.”
“Boleh kupanggil dia ‘Bayi Brengsek’ ?” tanya Todd.
“Terserah,” jawab Lumina letih.
Saat itu Ken menatap kedua orang tuanya dengan pandangan tak suka. Bagaimana bisa mereka menatap bayi kecil, lucu dan manis ini dengan pandangan seperti itu. Saat itulah ia memutuskan satu nama untuk bayi perempuan ini.
“Namamu Angel,” kata Ken. “Karena kau seperti malaikat…”
Lumina memandangnya sekilas, Todd mendengus lagi, mengeluarkan botol birnya dan mulai menenggak semuanya.
Setelah itu Ken mulai mengurus adiknya, hanya menerima sedikit uang dari ibunya untuk membeli susu, popok dan perlengkapan lainnya. Intinya, dia membesarkan adiknya seorang diri.
---
“Kenneth !”
Seruan ayahnya membuat Ken tersentak. Ia kembali meletakkan laptop-nya dan melangkah ogah-ogahan ke dapur. Di sana, Todd Steall duduk di kursi dapur. Botol bir tergeletak begitu saja, isinya yang tinggal sedikit tumpah di atas meja makan.
“Belikan aku sebotol lagi,” perintah ayahnya.
“Kau terlalu banyak minum.”
“Belikan!!”
“Lumina hanya meninggalkan uang untuk membeli bahan makan malam,” kata Ken.
“Persetan dengan perempuan brengsek itu !! Sekarang belikan aku sebotol lagi !!!”
“Kalau kau terlalu banyak minum kau bakal mati lebih cepat !” kata Ken, meski dalam hati ia setengah berharap pria ini mati lebih cepat.
“Jangan coba mengguruiku, bocah sialan. Kau pikir dirimu siapa ?!!” bentak Todd. Ken tak gemetar sedikit pun. “Cepat berikan semuanya padaku !!”
“Tidak,” kata Ken. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, mencengkram erat uangnya. Ia tidak akan membiarkan pemabuk ini merebut uang untuk makan malamnya nanti bersama Angel. Tapi Todd tak semudah itu menyerah. Ia melompat dari kursinya berusaha merebut uang itu dari tangan Ken. Dengan gesit Ken melesat, menghindari ayahnya. Tapi tidak cukup cepat. Todd menarik tudung jaket Ken, membuat Ken tersentak dan terlempar hingga menabrak lemari Kayu di belakangnya saat tinju besar Todd menghantam pipi kirinya.
Ken bisa merasakan darah asin di mulutnya, dia menyadari uangnya telah hilang dan sudut mulutnya berdarah. Ia menyeka darahnya dengan punggung tangan, melompat menyambar tangan Todd yang memegang uang. Todd menggerung, berusaha menyingkirkan Ken, tapi Ken berkutat, merebut uang dari tangan Todd. Todd berusaha mendorongnya dengan satu tangan sementara tangan yang satunya lagi berusaha menjauhkan uang itu dari jangkauan Ken.
Ken bukan tipe anak yang akan menyerah begitu saja. Tanpa pikir panjang, Ken menyentakkan badannya. Dan saat jari-jarinya menyentuh kertas-kertas yang mereka perebutkan Ken berseru gembira, tapi tak berlangsung lama, mereka bergumul sekitar lima menit di lantai. Akhirnya Ken menendang Todd agar menjauh hingga kepala Todd membentur kaki meja. Melihat adanya kesempatan, Ken melompat masuk ke kamarnya, menyambar laptop dan melesat ke kamar Angel dan mengunci pintu, tepat saat Todd bangkit sambil memegangi kepalanya.
Ken mendesah lega. Angel masih duduk dalam posisi yang sama seperti yang dilihat Ken saat ia pulang tadi.
Ken memeluk lembut Angel, mengusap rambutnya.
“Kita akan melalui semuanya, Angel… semuanya…” bisik Ken.
Hingga malam, Ken tidak keluar dari kamar Angel.
Minggu, 05 Juli 2009
Prolog
Kenneth Steall terjaga begitu saja malam itu. Atau lebih tepatnya pagi itu. Kamarnya yang kecil, gelap dan penuh sesak oleh benda-benda favoritnya. Ia melirik jam weker menyala-dalam-gelap yang tergeletak di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Jam dua pagi. Memaki dalam hati, ia keluar dari kamarnya, menuju lorong gelap dan sempit yang menghubungkan antara ruang tamu dan dapur.
Ia masuk ke dapur, untuk mengambil air minum. Terhenti sejenak melihat ayahnya duduk di hadapan dua botol kosong dengan label lusuh bermerk bir murahan. Ia dapat mendengar ayahnya menggumamkan sesuatu dalam tidurnya. Ken Cuma menggeleng dan meraih cangkir hijau favoritnya dan mengisinya penuh-penuh dengan air dari dalam kulkas butut di sudut dapur.
Ken berjalan menuju pintu lain di ujung lorong. Membukanya pelan. Kamar itu tidak terlalu sesak. Sebuah tempat tidur kecil berada di salah satu sudut ruangan. Di sana, seorang gadis berusia enam tahun tertidur nyenyak dengan sebuah boneka teddy bear coklat di sebelahnya. Gadis itu bernama Angel. Ken menatapnya lebih dekat lagi, mengamati rambut pirang lusuh panjang dan lurusnya yang halus. Tersenyum sejenak, Ken beranjak keluar dari kamar itu.
Ken kembali masuk ke kamarnya, meletakkan cangkirnya di atas meja belajarnya yang berantakan. Ia duduk sejenak di atas tempat tidur, menyadari dirinya sudah terlanjur bangun dan tidak bisa tidur lagi. Beberapa saat ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya ia ingat tugas proyek biologi-nya yang masih terlantar di pojok ruangan. Ken merogoh-rogoh tas ranselnya dan mengeluarkan pena dan buku catatan kecil, kemudian menarik keluar laptop-nya, satu-satunya benda mahal yang ada di kamar itu. Atau mungkin di seluruh rumah. Atau bahkan benda paling mahal yang pernah dimiliki Ken seumur hidup.
Ia menguap, membaca ulang latar belakang makalah yang telah ditulisnya. Dalam hati menggerutu, bagaimana ia bisa menulis sesuatu yang membosankan seperti ini. Ia kembali melirik alarm di atas meja kecilnya, melihat bahwa waktu menunjukkan pukul empat pagi.
Merasa bosan, Ken membuka halaman baru di word processor laptop-nya dan mulai menulis sesuatu.
***
Lumina Steall melirik suaminya yang terlelap di dapur. Menggeleng, wanita cantik itu melepas mantelnya dan menggantungkannya di gantungan dekat lorong. Ia baru akan melepas sepatu hak tinggi merahnya saat ia melihat pintu kamar anaknya, Ken, mengayun terbuka.
Ken berdiri disana. Dengan baju kaus lusuh bergambar pohon palem dan celana training hitam yang warnanya sudah tak jelas. Dari wajahnya, Lumina tahu Ken belum tidur atau sudah terbangun untuk waktu yang lama.
“Ken ? Kau belum tidur ?” tanya Lumina dengan nada dingin. Dia tidak mengharapkan anaknya bangun jam empat pagi seperti ini. Ken melangkah keluar dari kamarnya, membawa cangkir kosong menuju dapur. Lumina mengikutinya menuju dapur.
“Ken, kau belum menjawab pertanyaanku,” kata Lumina. Ia menatap anak ini dengan tatapan dingin.
Ken mendongak, menatap Lumina dengan pandangan dingin.
“Aku terbangun,” jawab Ken dengan nada yang tak kalah dingin. Tanpa berkata apa-apa ia berjalan melintasi ibunya kembali masuk ke kamar.
***
Ken Steall tak pernah menyukai rumahnya. Bukan apa-apa, dia hanya tidak bisa membuat dirinya menyukai tempat sempit di kawasan kumuh itu. Oh, yeah. Bagaimana ia bisa menyukai rumah itu jika dia sendiri bahkan tak mampu menyukai orang tuanya ?
Ayahnya pemabuk dan ibunya tak pernah memiliki pekerjaan yang jelas. Lumina hanya akan pergi pagi-pagi buta dan kembali pada pagi buta juga di hari berikutnya. Kemudian dia akan tidur seharian dan baru bangun pada malam hari untuk menenggak sebotol Sherry di meja dapur, sementara ayahnya akan duduk di depan TV, dengan sebotol bir murahan dan pop corn, menonton siaran olahraga tanpa minat. Ken tahu ayahnya tidak menonton acara itu, pria itu Cuma tidak ingin berada di ruangan yang sama dengan istrinya.
Ken sendiri adalah seorang anak empat-belas-tahun-menjelang-lima-belas-tahun berbadan kurus, rambut pirang lusuh berantakan tak terurus. Dengan baju lusuh, celana jeans yang terlalu sering di cuci dengan ukuran dua nomor lebih besar yang seharusnya. Sneakernya yang dulu berwarna hitam dan putih kini berwarna hijau butek dan kelabu. Ranselnya sudah bulukan. Secara singkat, dia bukan orang yang akan kau lirik dua kali saat berada di jalan.
Tapi dia memiliki beberapa hal baik dalam penampilannya. Sebut saja mata hijau-nya yang luar biasa itu, dan wajahnya yang lumayan tampan ( andaikan tidak di tutupi dengan debu-debu dan andaikan dia mau membersihkannya sedikit saja… ). Dia cukup tinggi untuk anak seusianya.
Anggota terakhir apartemen lusuh di sudut kota yang di sebut Ken sebagai rumah adalah Angel Steall. Gadis kecil manis yang amat di sayanginya. Satu-satunya hal yang membuatnya kembali kerumah itu.
Seandainya saja ia punya keluarga yang lebih baik…
***
Sinopsis, baca ini duluuu...!!!
Kehidupannya disekolah pun sama parahnya. Guru Bahasa Inggrisnya selalu mencari-cari kesalahannya, teman sekolahnya selalu menganggunya... Tapi semua itu diimbangi dengan dua orang yang ditemuinya di sekolah juga.
Dan Kenneth Steall melalui semua itu... menuliskan kisahnya ( yang ditentang habis-habisan oleh sang guru Bahasa Inggris ) dengan sebuah laptop... benda termahal yang pernah dimilikinya...