Sabtu, 11 Juli 2009

Chapter 2

CHAPTER 2
Best Friend and The Girl Next to Him

Gadis itu bernama Anne Highs. Rambutnya hitam panjang, lurus, wajah manis. Pakaiannya memang bukan dari merk yang mahal, tapi jelas mereka tampak bagus saat dikenakan olehnya. Ia murid pindahan yang baru datang hari ini. Ken melihatnya pertama kali di kelas matematika, saat gadis itu maju untuk menyelesaikan sebuah persamaan yang sulit di papan tulis.

Ia Cuma memperhatikannya sekilas, tak tertarik. Ia juga tak tertarik dengan fakta bahwa gadis itu duduk di sebelahnya di kelas itu, mengundang gumaman kecewa dari beberapa siswa lain di kelas.

“Hai, aku Anne Highs… mungkin kau sudah tahu…” kata Anne mengulurkan tangannya.

“Kenneth Steall,” kata Ken menjabat tangan Anne.

Mereka berjalan keluar dari ruang kelas, menuju ruang loker, mengambil buku untuk pelajaran berikutnya. Dari ujung koridor, Stanley dan teman-temannya mulai bersiul keras.

“Oy, Highs ! Ngapain kau main-main sama cowok jelek itu ?” seru Stan. “Kau mau terlihat bodoh, ha ?” seperti biasa, suara tawa teman-teman Stan berderai. Ken Cuma mengangkat bahu tak peduli. Ia terus berjalan.

Anne menyusulnya dengan wajah sebal.

“Apa dia selalu seperti itu ?” tanya Anne berusaha menjajari langkah cepat Ken.

Ken menggumamkan sesuatu yang tidak dapat di dengar Anne. Anne terus mengikutinya hingga mereka sampai di ruang loker. Mereka mengobrol santai. Oke, mungkin Cuma Anne yang berbicara sementara Ken Cuma menanggapi sedikit.

“Hey, Ken…” sapa Samantha yang tengah memasukkan bukunya ke dalam loker. Ia menatap gadis yang berdiri di sebelah Ken. “Oh, maaf. Namaku Samantha Hayes…” kata Samantha memperkenalkan dirinya.

“Aku Anne Highs. Senang bertemu denganmu, Samantha…” Anne tersenyum menatap gadis berambut panjang kecoklatan di hadapannya ini. Samantha seorang gadis yang cantik, tinggi, wajah kurus dan tegas… singkatnya sempurna.

Paling tidak itu menurut Anne. Anne ingin memiliki mata seperti itu. Kelabu pucat dengan bentuk tajam dan indah. Samantha amat pandai menghias matanya sedemikian rupa dengan mascara, hingga mata itu terlihat jauh lebih indah lagi.

“Anne ? Kau tidak mengambil barang-barangmu ?” tanya Samantha, membuat Anne tersentak dari lamunannya.

“Ap… aku ? Oh, ya… tentu saja. Tunggu, dimana Ken ?” tanya Anne.

“Ken sudah ke kelasnya lebih dulu. Aku duluan, ya,” kata Samantha. Ia melambai pada Anne.

Anne membuka lokernya dan mengeluarkan buku-buku dan melesat ke kelasnya sendiri.

Ken mengeluarkan laptopnya, dan meletakkannya di pangkuan. Sejenak ia duduk diam di depan word processor yang hanya menunjukkan nhalaman putih kosong. Jari-jari Ken menyentuh keyboard tapi tidak menekannya. Lama ia menatap langit-langit kamarnya yang kosong. Memikirkan apa yang akan ia tulis.

Ia memikirkan satu kata… mengangkat tangannya dan mulai mengetik. Suara ketikan tangan itu terdengar dengan tempo yang teratur. Jari-jari Ken bergerak lincah di sepanjang keyboard laptop.

Pernahkah kau merasakan sesuatu seperti yang kurasakan saat ini ? Yeah, memiliki ibu yang brengsek, ayah pemabuk tua… tapi memiliki adik perempuan manis yang secantik malaikat ?
Kau memiliki rumah di daerah kumuh, dengan dua kamar tidur. Satu untuk ibumu, satu untuk adikmu, sementara kau menemukan dirimu terbangun setiap pagi menatap langit-langit gudang sempit yang seumur hidupmu kau sebut “kamar”. Itulah yang kurasakan.
Kau bisa saja tertawa membaca tulisan ini. Mungkin semua hal terdengar lucu bagimu seperti pecundang yang kutemui di sekolah. Tapi aku tidak bercanda. Kalau kau berada dalam posisiku, mungkin kau akan kabur saja dari rumah ini tanpa perlu berpikir dua kali.
Tapi tidak denganku.
Aku tidak akan meninggalkan adikku sendiri. Aku tidak akan meninggalkan gadis kecil manis yang selisih umurnya delapan tahun dari umurku. Aku akan terus bersamanya, aku akan melindunginya dari semua orang yang ingin menyakitinya. Aku −


Tangan Ken terhenti saat ia mendengar suara pintu yang di buka. Ia melihat siapa yang berdiri di ambang pintu kamarnya dan ia tersenyum saat melihat siapa itu. Angel berdiri di sana. Sebelah tangannya memegang boneka Teddy kesayangannya sementara tangan yang lain memegang sebuah buku gambar tipis yang di kenali Ken sebagai buku gambarnya.

“Hai, Ange…” sapa Ken. Ia meletakkan laptopnya ke atas tempat tidur dan melompat, menuntun Angel agar masuk ke kamarnya. Angel mengikutinya dalam diam. Ken mendudukkan Angel di pangkuannya, sementara ia terus mengetik di laptop-nya.

Aku akan melakukan apa pun, apa pun untuk membuat Angel bangga.


Ken menjauhkan laptop-nya dan memeluk Angel. Ia mulai mengayun Angel, maju mundur… menggumamkan sebuah lagu yang ia sendiri tak yakin pernah di dengarnya di mana. Angel tak bergerak dalam pelukan Ken, tapi Ken tahu, Angel suka di peluk. Ia ingat saat Angel dulu akan menyambutnya sepulang sekolah dan meminta Ken memeluknya.

“Kau tahu Ange… kau memiliki suara yang bagus…” kata Ken. Ia terus mengayun Angel. “Aku ingat saat kau menyanyikan lagu ‘Twinkle-twinkle Little Star’ versi rap saat masih berumur tiga tahun. Lucu sekali…”

Ken menunduk, melihat Angel tersenyum, meski tidak berkata apa-apa. Tanpa sadar, Ken juga tersenyum, mengelus lembut pipi Angel.

“Hei, Ange… aku suka melihat senyummu…” kata Ken. Ia memeluk Angel, melindunginya dari semua yang ingin menyakitinya. Angel merapatkan kakinya ke badannya, menggulung seperti bola.

Ken kembali menyenandungkan lagu itu sekali lagi… Sementara Angel menikmati terayun-ayun dalam pelukan Ken. Ken membaringkan Angel di sampingnya, terus bersenandung, menatap langsung mata biru jernih milik Angel. Kemudian, ia mulai membuat suara-suara dan wajah aneh, membuat Angel tersenyum semakin lebar. Tapi masih belum ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir mungilnya.

Ken terus bermain dengan suara dan wajahnya, hingga Angel lelah dan dia tertidur. Ken menatap wajah gadis kecil itu. Melihat betapa tenangnya ia tidur. Ken tersenyum samar, mengambil lagi laptop-nya dan mulai mengetik.

---

“Mr. Steall… bisa kita bicara sebentar ?” tanya Miss Houston, guru Bahasa Inggris berperawakan langsing dengan wajah tegas yang cantik. Ken mengangkat kepalanya dari tugas yang tengah ia kerjakan.

Miss Houston menunggunya sebentar. Ken bangkit dari tempat duduknya, mengikuti Miss Houston. Jelas wanita muda itu tampak kurang senang akan sesuatu, dan dalam hati Ken bisa menebak apa yang ada di pikirannya.

“Mr. Steall, aku sudah membaca karanganmu. Sangat bagus, tetapi…”
Ken mampu menebak lanjutan kalimatnya.

“… menurutku kau terlalu kasar dalam mengungkapkan sesuatu, Mr. Steall. Ini tidak seperti karangan yang di buat oleh anak berusia empat belas tahun,” kata Miss Houston. “Apa benar kau yang mengarang semua ini ?”

Ken menatap langsung mata Miss Houston.

“Aku membuatnya sendiri.”

“Well, kalau begitu semuanya jauh lebih mudah. Dengar, aku tahu kau pintar, kau memang mapu menulis sesuatu seperti ini, tapi Mr. Steall, rasanya tulisan ini tidak cocok untuk tugas sekolah. Dan kuminta kau menulis ulang seluruh karangan ini dengan bahasa yang lebih baik.”

“Kalau anda tak mengerti isi karangan itu, jangan suruh saya mengulangnya, Miss Houston. Kenapa tidak anda saja yang sebaiknya mulai mencoba untuk mengerti isinya?”

“Mr. Steall, aku tidak mengharapkan bantahan darimu. Aku hanya meminta kau mengulangi karangan itu. Dan lagi tema yang kau pilih terlalu berat… kenapa kau tidak mencoba sesuatu yang… kau tahu… lebih ringan ?”

“Miss Houston, anda tidak akan pernah membaca The Lord of The Ring jika mengharapkan J. R. R. Tolkien memilih tema yang lebih ringan. Mungkin judulnya malah akan jadi The Elf and The Human Love Story. Intinya Miss, saya menolak menulis ulang karangan itu,” kata Ken.

Miss Houston mendesah.

“Mr. Steall, aku akan memuat cerita terbagus ini di Koran sekolah. Bagaimana aku bisa memuat cerita seperti ini di sana ?”

“Ya sudah. Aku tidak meminta anda memasukkan cerita ini ke Koran sekolah.”

“Mr. Steall, ini menyangkut nilai pelajaran Bahasa Inggrismu. Sekarang kau tinggal memilih apa akan menulis ulang karangan ini atau mendapat nilai F untuk semua tugas Bahasa Inggrismu. Selamat pagi, Mr. Steall,” Miss Houston berbalik, menyodorkan karangan Ken dan pergi begitu saja.

---

Samantha Hayes menatap cowok di depannya ini dengan tatapan memelas. Mereka tengah di perpustakaan sekarang, Samantha membaca buku sementara Ken mengetik sesuatu di laptopnya.

“Kau gila ? Melawan Miss Houston seperti itu ?!” bisik Samantha.

“Kukatakan padanya, aku tidak akan mengulang karanganku,” balas Ken berbisik.

“Sama saja kau meminta nilai F untuk semua test Bahasa Inggrismu.”

“Dia sudah mengancamku dengan itu.”

“Ken …!” Samantha tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya.

“Jangan konyol, Sam, aku…” omongan Ken terhenti melihat sosok yang berdiri di belakang Samantha.

“Oh, hai Rush…” sapa Ken.

Samantha menoleh dan melihat Rush Marshall berdiri di belakangnya. Cowok itu tersenyum, langsung duduk di sebelah Samantha. Rush Marshall adalah seorang cowok jangkung berkulit gelap dengan rambut hitam pendek ( rambutnya terlalu pendek sehingga ia mengenakan sebuah kupluk untuk menutupinya ).

“Well, kudengar seseorang diminta Miss Houston menulis ulang semua karangan Bahasa Inggrisnya…” kata Rush.

“Rush, kapan kau kembali ?” tanya Samantha mengernyit heran.

Rush Marshall tersenyum. Ken mengenal baik kebiasaan anak yang satu ini. Hobi bolos, Cuma muncul di sekolah beberapa kali sehari. Mereka berteman baik. Keluarga mereka agak mirip. Hanya saja Rush tak punya masalah dengan ayahnya, karena anak ini bahkan tak tahu siapa ayahnya. Tapi ia tak peduli. Rush selalu mampu melalui hari-harinya dengan tenang tanpa harus terganggu. Dan hari itu sudah sepuluh hari lebih Rush tidak hadir di sekolah. Bukannya ada yang peduli.

Ken Cuma tersenyum mengingat kebiasaan Rush.

“Kau tahu Mr. Lewis mulai bertanya-tanya kemana kau pergi. Kurasa dia benar-benar marah padamu,” kata Samantha.

“Kau bohong,” kata Rush sambil tersenyum. “Aku sudah meneleponnya dan berkata,” Rush melengkingkan suaranya hingga menyerupai suara perempuan, “’Mr. Lewis ? Saya salah satu kerabat Rush Marshall… ya, sir, anak yang itu. Saya menelepon ingin memeberitahukan bahwa hari ini Rush tidak bisa masuk… mungkin untuk beberapa hari… ya, sir… berita duka, neneknya baru saja meninggal dan dia harus pulang… ya… terima kasih, sir…’ Nah, bagaimana ia bisa marah sementara ‘nenekku’ baru saja meninggal ?” ia melempar pandangan geli pada Ken. Ken nyengir, sementara Samantha mengerang kalah.

“Owww…! Oke, kau menang !!” seru Samantha, dan ia menerima ratusan suara “Sssshhh….!!!” Dan pandangan menegur dari penjaga perpustakaan. Samantha menyembunyikan wajahnya dibalik buku.

Ken dan Rush bertukar senyum memandang Samantha.

---

Anne Highs baru memperhatikan anak itu di kelas matematika-nya. Dia duduk tepat disebelah kiri Ken. Dia tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Kalau tak salah namanya Rush Marshall. Anak itu kelihatannya cukup dekat dengan Ken. Yah, kalau tidak dekat bagaimana mungkin mereka bisa tertawa seperti itu ? Dan… ugh, sekarang Mr. Howard memberikan pandangan penuh ancaman pada mereka berdua… berarti sebentar lagi…

PLETAK!!!

Sebuah spidol mendarat dengan keras di kepala Rush, membuatnya berseru kaget. Tangannya otomatis memegang bagian yang terkena lemparan.

“Mr. Marshall… Mungkin akan lebih berarti jika kau menyimak pelajaranku, bukannya membuat acara komedi murahan di belakang sana…” kata Mr. Howard penuh peringatan. Rush hanya terkekeh melihat ekspresi Mr. Howard saat mengatakan hal itu. Ken Cuma menggeleng sambil bergumam “moron” dan kembali menatap buku catatannya.

Anne Highs berusaha kembali serius dengan catatannya, tapi Rush mulai mendengungkan lagu dengan aneh, membuat dia tak dapat menahan tawa. Kelas Matematika itu berlalu dengan Mr. Howard berusaha menahan amarahnya.


A/N : Untuk yang berikutnya, blog ini akan di up-date mungkin sebualn atau dua bulan sekali... Tapi jika ada up-date yang lebih cepat, silahkan cek saja...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar