CHAPTER 4
Rush Marshall and Kenneth Steall
Ken agak kaget saat melihat Rush menghampirinya dengan baju seragam tim basket sekolah. Ia sudah lupa mengenai kenyataan Rush adalah anggota tim basket. Kapten tim malahan. Sejenak ia ingin menertawakan kebodohannya sendiri.
“Jadi bagaimana makan malamnya ?” tanya Ken. Ia teringat ajakan Rush kemarin.
“Kacau. Sam dan Laura bertengkar hebat. Semua gara-gara Laura bilang tidak seharusnya seorang gadis seperti Sam memakai baju hitam-hitam kemana-mana. Dan kau tahu Sam paling tidak suka di komentari soal gaya berpakaiannya. Dan dia meledak…” jelas Rush.
Ken bisa membayangkan Sam yang meledak marah. Dia bukan tipe gadis yang akan berteriak dan membentak jika marah, dia adalah tipe yang akan bersikap dingin dan melontarkan kata-kata pedas penuh sindiran dan sarkasme. Tapi Ken juga mengenal Laura cukup baik untuk mengetahui apa yang di lakukannya kemudian. Laura adalah bibi Rush yang sudah berusia lanjut yang paling suka mengenakan baju berwarna mencolok dan menganggap didirinya masih cocok pergi ke pantai dengan bikini merah seperti cewek-cewek di Baywatch.
“Aku tidak akan marah kalau saja dia bisa menjaga mulutnya itu,” kata Sam, muncul begitu saja di belakang kedua cowok itu. “Apa yang kau lakukan di sini ? Mr. Burnt mencarimu. Rapat tim katanya. Bukankah sebentar lagi kau bertanding ?” tanya Sam pada Rush.
“Sial. Sampai ketemu nanti,” Rush segera berlari kea rah gedung olahraga.
Ken dan Sam saling bertukar pandang melihat Rush.
“Kay mau ke gedung olahraga sekarang ?” tanya Sam.
“Boleh juga,” jawab Ken.
Mereka berbalik dan berjalan menuju gedung olahraga mengikuti Rush.
---
Anne Highs menatap teman-teman barunya ini. Catherine Sunders, Yvonne Savage dan Ellena Court.
Mereka dari tim pemandu sorak, anggota klub computer dan dari klub matematika. Ketiga gadis itu tampak berbicara riang gembira, sementara Anne mendengarkan obrolan mereka sambil sesekali menanggapi. Gedung olahraga itu sudah cukup ramai. Pertandingan belum dimulai, dan tim sekolah mereka masih belum memasuki lapangan. Anne menoleh saat ia melihat pintu gedung dibuka dan ia melihat Ken dan Samantha memasuki gedung olahraga.
Ketiga gadis lainnya langsung berhenti mengobrol, mengikuti arah pandangan Anne.
“Apa sih yang kau lihat ?” tanya Yvonne membenarkan letak kacamatanya.
“Kalau mataku tak salah itu Kenneth dan Samantha,” komentar Ellena.
“Kenapa dengan mereka ?” tanya Catherine.
“tidak apa,” gumam Anne. Ia berharap mereka mulai berhenti memandanginya, tapi mereka tidak melakukan itu. Sesaat kemudian, obrolan mereka berubah menjadi “Bincang-bincang Mengenai Kenneth Steall”.
“Dia amat cerdas kau tahu,” kata Yvonne. “Kami mencoba merekrutnya untuk klub computer, tapi ia menolak karena ia mengatakan sedang sibuk.”
“Yah, kami juga pernah merekrutnya untuk klub matematika, dia juga menolak. Selau beralasan sibuk, padahal selama ini kuperhatikan tak ada yang dikerjakannya selama di sekolah,” kata Ellena.
“Jarang bergaul. Dia Cuma dekat dengan Samantha dan Rush,” tambah Catherine. “Kay tahu dia cukup tampan seandainya mau sedikit… ehm… membereskan diri, kalau kau tahu maksudku.”
“Kadang aku berpikir kalau dia hidup sendirian…” kata Ellena.
“Tidak, dia tinggal dengan keluarganya,” kata Anne tiba-tiba. Segera saja, tiga pasang mata menatapnya. “Apa ?” tanya Anne tanpa rasa bersalah.
“Sepertinya kau mengenalnya. Aku Cuma tahu ibunya bekerja di bar dengan nama beken Kitty,” kata Catherine. “Aku juga dengar dari ayahku, ayahnya itu seorang pemabuk yang sering buat masalah. Kemarin ia menghajar seorang pemulung karena tanpa sengaja menyenggolnya sepulang dari bar murahan di dekat situ.”
“Benarkah ?” tanya Anne. Ia sama sekali tak tahu keluarga Ken separah itu. Yang ia tahu adalah Ken tidak akrab dengan orang tuanya.
“Kau tidak tahu ?” tanya Yvonne. Anne menggeleng.
“Keluarganya hancur-hancuran. Ayah pemabuk, ibunya tak jelas pekerjaanya. Mereka tak pernah peduli padanya. Lalu kudengar dia juga punya seorang adik perempuan, kuharap gadis itu tak sebrengsek ibunya,” kata Catherine.
“Angel anak yang baik,” kata Anne mengoreksi.
Ketiga mata itu kembali menatapnya.
“Well, sepertinya kau mengenal keluarganya lebih baik dari kami…”
“Tidak juga,” kata Anne.
“Yang penting, aku dengar kabar ia menghajar beberapa orang pria yang mengganggu adiknya sampai babak belur. Didikan buruk,” kata Ellena.
“Tidak. Ken menyayangi adiknya, makanya ia begitu,” bela Anne.
“Ha-ha, lucu, Anne. Auk tahu kalau ada sesuatu yang tak beres pada dirinya. Lihat saja temannya, Samantha itu kutu buku yang paling sinis di sekolah, dan lihat Rush…”
“Kenapa Rush ?”
“Dia… bagaimana mengatakannya, ya ? Dia bukan cowok baik-baik. Rush pernah mencuri jam tangan mahal milik tetangganya, tapi ia tidak di tahan karena tidak adanya cukup bukti.”
“Lalu bagaimana ia bisa menjadi kapten tim basket ?”
“Apa, ya ? Kurasa karena bakatnya. Kay tahu, tanpa semua itu dia Cuma cowok tak berguna,” kata Ellena.
“Kalian terlalu berlebihan,” kata Yvonne. “Kurasa pasti ada sisi baik dari mereka. Maksudku Samantha sangat jago di kelas Sejarah Dunia dan Bahasa Prancis, dan pernahkah kalian membaca salah satu cerita yang dibuat Kenneth ?” tanya Yvonne. Ketiga temannya yang lain menggeleng tak tahu. “Dia sangat pandai menuliskannya. Meski harus kukatakan rasanya bahasa yang ia gunakan agak kasar, tapi itu sesuai dengan tema cerita yang dipilihnya. Dan Rush adalah bintang lapangan,” kata Yvonne mengeluarkan sisir danmulai menyisir rambutnya.
“U-huh ?” tanya Ellena tak tertarik. “Itu sedikit sekali di banding keburukan mereka.”
“Paling tidak mereka punya sisi baik,” kata Yvonne.
“Yah, yah, terserah deh. Hey, kau mau kemana ?” tanya Ellena melihat Catherine sudah beranjak dari tempat duduknya.
“Pertandingan sudah akan dimulai. Auk harus pemanasan dengan cheerleader yang lain,” jawab Catherine. “Jangan tertawa kalau aku jatuh, lho…”
“Tidak akan,” kata Anne mengacungkan jari kelingkingnya.
Mereka tertawa bersama, meski setelah itu, sesuatu mengganggu pikiran Anne.
---
Mereka menang dengan skor 81-56. Rush benar-benar bahagia saat ia keluar dari ruang ganti dan menemui Samantha serta Ken yang menunggunya. Mereka mengucapkan selamat, dan setelah itu diam mendengarkan jalannya pertandingan dari sudut pandang Rush.
“Dan untuk lemparan three-point yang terakhir, aku bahkan tak yakin dapat memasukkannya karena kau lihat ‘kan, betapa gencarnya mereka menghadangku, berusaha menghentikan. Tapi aku tetap focus, dan mengerahkan semua kemampuan dan…” Rush menirukan gayanya saat melakukan three-point-legenda-nya itu dengan slow motion, “… bluuusshh!!! Bola itu masuk dengan sempurna !”
“Hebat sekali, Rush. Oke, aku belok di sini,” kata Samantha menikung di persimpangan berikutnya.
“Bye, Sam !” seru Rush riang.
“Yah, bye, Ken, Rush,” Samantha berbalik dan berjalan kerumahnya sendiri.
Rush dan Ken berjalan pulang. Rush masih sibuk bercerita hingga mereka berhenti di apartemen tempat tinggal Ken.
“Kay mau masuk dulu ?” tanya Ken.
“Orang tuamu di rumah ?” balas Rush balik bertanya.
“Tidak. Lumina masih di bar, Todd masih di rumah Bonnie untuk minum-minum sambil main kartu,” kata Ken. Terkadang ia sendiri merasa kesal dengan tingkah kedua orang tuanya, tapi tidak ada jalan lain. Keluarganya memang sudah hancur.
Rush mengangguk dan mengikuti Ken menaiki tangga menuju apartemennya. Mereka masuk kedalam, Rush meletakkan ranselnya di atas sofa butut di ruang TV dan mengikuti Ken ke dapur.
“Jadi mana Angel ?” tanya Rush.
“Ku rasa dikamarnya. Mau kupanggilkan ?”
“Kalau tidak merepotkan, tidak apa-apa,” kata Rush.
Ken tersenyum, ia berjalan ke kamar Angel, mengetuk pintu sebelum membukanya. Angel duduk di atas tempat tidur seperti biasa, dengan buku gambar, crayon dan pensil.
“Hey, Ange…” sapa Ken. “Coba lihat siapa yang datang.”
Rush menongolkan kepalanya dari belakang Ken. Wajah Angel langsung menjadi cerah. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan menghampiri Rush. Rush tersenyum, ia menarik lembut tangan Angel, mengajaknya ke ruang TV. Di sana ia mengeluarkan beberapa batang coklat. Senyum di wajah Angel semakin lebar. Dan bertambah lebar lagi saat coklat-coklat itu berada dalam genggamannya.
“Dari mana kau dapat coklat-coklat itu ?” tanya Ken.
“Hey, aku membelinya di toko. Kay tahu aku suka cemilan manis,” jawab Rush.
Angel kini duduk di karpet bulukan di depan TV menyantap coklatnya. Ia menatap dua batang lagi yang belum dibuka. Tanpa pikir panjang, Angel mengambil keduanya, memberikan satu pada Ken dan satu pada Rush.
“Auk memberikan coklat ini padamu, kenapa kau kembalikan ?” tanya Rush.
Angel tetap menjejalkan coklat itu ke tangan Rush, sementara Rush berusaha menolaknya.
“Dia ingin berbagi, Rush. Kenapa tidak kau terima saja ?” kata Ken. Rush menoleh pada Ken, mengangkat bahu dan tersenyum pada Angel sebelum menyimpan coklat-nya kembali ke dalam ransel.
“Ken, aku mulai dengar gossip buruk tentangmu di sekolah,” kata Rush.
“Hey… aku ini anak dari keluarga yang hancur. Semua berita buruk di tujukan padaku,” kata Ken berusaha tersenyum seolah semua hanya lelucon.
“Ken… orang menganggap kita semua orang aneh. Walau pun aku anggota tim basket dan kapten tim, mereka semua tak pernah benar-benar menerimaku karena aku bukan bagian dari mereka. Kalau bukan karena Mr. Burnt, mungkin aku sudah di tendang jauh-jauh dari tim.”
“Auk tahu. Dan aku tahu kau tahu bagaimana aku menanggapi semuanya.”
“Samantha yang memintaku untuk mengatakan ini padamu.”
“Rush, kita sudah berteman sejak umur tiga tahun. Kay tahu banyak hal lain yang bisa kulakukan selain mengurusi masalah seperti itu. Auk tak peduli. Tapi terserah kalau kau merasa masalah ini amat penting, aku memberimu kebebasan.”
Rush tersenyum. “Auk tak peduli. Samantha juga tidak.”
“Lalu apa masalahnya ?”
“Tak ada. Kay benar. Masih banyak hal lain yang bisa diurusi.”
Setelah itu mereka mulai membicarakan hal-hala yang menyenangkan dan melihat-lihat gambar-gambar yang dibuat Angel. Setelah itu Rush melihat jam dan menyadari sudah waktunya dia pulang.
Angel sudah tidur saat Ken mengecek kamarnya. Ia bisa mendengar suara pintu di banting dengan keras dan suara Todd yang menggrutu marah. Ken tahu ayahnya pasti kalah taruhan saat di rumah Bonnie. Tak peduli, Ken kembali ke kamarnya sendiri, mengeluarkan laptopmya dan mulai menulis.
Ia teringat saat ia dan Rush masih kecil. Mereka bermain bersama dengan ibu Rush mengawasi mereka. Lumina tak pernah peduli pada Ken, ia lebih suka membiarkan Ken bermain begitu saja. Mungkin saja ia berharap Ken pergi dan tak kembali lagi. Lumina bahkan tak pernah bertanya jika Ken tidak kembali selama dua hari karena menginap di rumah Rush.
Dan saat Angel muncul di kehidupan Ken, Ken membawa serta adiknya ke tempat Rush. Miss Marshall amat menyukai Angel dan meminta Ken menitipkan Angel di sana setiap kali ia pergi sekolah. Tentu saja Ken mau, sehingga ia tak perlu cemas meninggalkan Angel di rumah bersama Todd dan Lumina.
Ken teringat saat Miss Marshall mengatakan Angel sudah bisa bicara. Kata pertamanya adalah Kenneth. Ken tak bisa menahan tangis bahagianya. Hari itu, ia memnjam dapur Miss Marshall dan membuat makan malam untuk semua orang di rumah itu. Ia bertambah gembira saat Angel mengucapkan kata yang lain. “Sayang”.
Tapi Ken tak segembira itu saat pulang dan memberitahukan berita ini pada Lumina dan Todd.
“Dia bisa bicara ? Tak kusangka…” kata Todd penuh sarkasme dalam suaranya.
“Hah ? Baguslah. Paling tidak kita akan tahu kalau dia mulai mengotori ruangan dengan pipisnya. Kay sudah membersihkan sofa ? Benda itu sangat bau,” kata Lumina.
Ken marah saat mendengar tanggapan dua orang itu yang tak peduli pada perkembangan anak mereka. Atau dalam kasus ini, anak Lumina. Ken jadi mulai berpikir bagaimana ia bisa tumbuh jadi sebesar ini dengan ayah dan ibu yang tak pernah peduli padanya.
Ken menceritakan semuanya pada Rush, dan Rush berusaha menenangkannya. Ken tak mampu mengingat kata-kata Rush, tapi yang jelas itu tentang menyemangati Ken dan ia berjanji untuk membantu Ken membesarkan Angel.
Rush adalah sahabat terbaik Ken. Ken tahu itu. Ia tidak pernah mengharapkan sahabat yang lebih baik dari pada Rush dan Samantha.
Dan mereka akan tetap memegang janjinya untuk bersamaku, menyokongku, menyemangatiku. Mereka berjanji akan melindungi Angel dari semuanya. Dan aku percaya mereka akan menepati janji itu.
Ken mengakhiri tulisannya. Ia memandang mejanya, melihat tugas Bahasa Inggrisnya yang belum di selesaikan. Membuka halaman baru di word processor-nya dan mulai menulis karangan baru untuk Miss Houston.
***
A/N : Maaf kalau ada kesalahan ejaan....
Selasa, 01 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar