CHAPTER 1
The Boy Who Has No Future
Mrs. Stagerson menatap anak laki-laki di hadapannya ini. Menatap kertas-kertas yang baru saja diserahkan anak itu. Ia tak percaya anak berjaket lusuh ini menyelesaikan tugasnya dengan begitu sempurna. Oke, mungkin tidak sempurna, tapi mendekati.
“Katakan padaku, Steall, kau mengerjakan semua ini ?” tanyanya tak percaya.
“Ya,” jawab Kenneth Steall.
“Sendiri ?”
“Ya.”
Mrs. Stagerson mengangkat alisnya, mengangguk. Ia mulai memeriksa makalah anak-anak yang lain.
---
“Dia anak yang cerdas.”
“Ya, sayang dia dibesarkan di keluarga yang salah…”
“Mungkin karena itu sikapnya agak…”
“Apa ? Kurang ajar ?”
“Kau membaca pikiranku.”
“Patut disayangkan. Kau tahu, dengan otak dan kemampuannya, dia akan jadi orang yang luar biasa. Aku yakin itu…”
“Tapi dengan keadaannya saat ini…”
Kedua wanita itu terus berjalan menjauh.
---
Stanley Hamilton bisa di bilang rajanya seluruh berandalan di kota. Ken tahu itu. Dan dia juga tahu sebaiknya tidak membuat masalah dengan anak yang Cuma punya otot tapi tidak punya otak itu. Bukannya dia suka mencari masalah dengan Stan, tapi Stan selalu mencarinya untuk membuat masalah baru.
Ken berdiri tanpa sedikit pun rasa takut saat ia menatap Stan dan teman-temannya. Oke, mungkin dia agak gugup, tapi ia menekan semuanya sampai batas kemampuannya. Ken melintasi mereka tanpa rasa takut. Ia mendengar Stan berteriak dibelakangnya.
“Oy, Steall! Bagaimana kabar ibumu yang brengsek itu ?!!” seru Stan.
Semua teman-temannya tertawa mendengar lelucon yang tak lucu itu. Ken tak menggubrisnya.
Terserah dia mau mengata-ngatai Lumina Steall. Ken tak peduli. Tapi tampaknya Stan tak puas dengan respon yang diberikan Ken. Ia kembali mengeraskan suaranya, berseru pada Ken,
“Kau tahu ? Adikmu sama brengseknya dengan ibumu, Steall !! Idiot !”
Lagi-lagi tawa teman-teman Stan terdengar.
Ken tak mampu lagi menahan emosinya. Boleh saja ia menghina Lumina, terserah, tapi tidak dengan Angel.
Tanpa pikir panjang, Ken melemparkan ransel bututnya, berlari menerjang Stan, tapi sebuah tangan menahannya, membuat gerakan Ken terhenti. Ia berbalik melihat siapa yang menahannya.
Samantha Hayes memandangnya dengan kening berkerut, menggeleng.
“Apa yang kau lakukan ?” tanya Samantha setelah menyeret Ken menjauh dari Stan dan teman-temannya yang mulai tertawa mengejek Ken. “Kau hampir saja memasukkan dirimu ke dalam masalah besar, Ken !” Ken menepuk ranselnya untuk menepiskan debu yang menempel ( yang baru saja menempel, karena yang lama melekat begitu kuat sehingga sulit membersihkannya, bahkan pemilik laundry paling mahal pun akan menggeleng menyerah dan mencampakkan tas itu ke tong sampah ). “Apa yang dia lakukan hingga kau marah ?”
Ken berusaha mengatur lagi emosinya sebelum menjawab.
“Dia menghina Angel.”
Samantha menghela nafas.
“Dan kau marah karena itu ?”
“Dia mengatakan Angel brengsek seperti ibuku !”
“Lalu ?”
“Sam… kau ini bodoh atau apa ? Angel tidak seperti itu… Dia memang… berbeda… tapi dia tidak seperti ibuku.”
“Dia memanfaatkan kelemahanmu, Ken. Kau tahu dia dapat nilai F untuk paper biologinya sementara kau dapat A+.”
“Itu bakan alasan untuk menghina Angel.”
“ya, aku tahu. Dia hanya ingin membuatmu marah.”
Ken menghela nafas, berusaha meredakan emosinya. Sam benar, pikir Ken. Tapi jika semua ini telah menyangkut dengan Angel, ia akan mulai kehilangan control. Apa yang ia pikirkan ? Dia bisa terlibat lebih banyak masalah jika tadi ia memang memukul telak Stan. Sudah cukup ia ditegur karena memukuli orang-orang yang menganggu Angel dua minggu yang lalu.
“Kau benar,” kata Ken mengakui. “Trims, Sam.”
Ken berbalik dan pergi. Sementara Samantha tersenyum samar.
---
Ken kembali pulang ke tempat sempit di daerah kumuh itu. Menaiki tangga apartemennya. Ken tidak terkejut sama sekali saat menemukan apartemen itu dalam keadaan kosong. Todd Steall pasti sedang keluar, bertemu dan mabuk-mabukkan bersama teman-temannya sesama pengangguran. Ken tak peduli. Hal yang pertama di lakukannya adalah mengecek kamar Angel.
Angel duduk di sisi tempat tidurnya dengan sebuah buku gambar terbuka di pangkuannya. Angel menoleh saat Ken masuk ke kamar dan berjongkok disisinya, melihat apa yang tengah ia gambar.
Gadis kecil itu tidak mengatakan apa-apa. Lagi-lagi, ini bukan sesuatu yang membuat Ken terkejut.
Semua itu terjadi sejak dua tahun yang lalu. Angel pulang dalam keadaan menangis, penuh luka, sementara hujan terus membasahinya. Keesokan harinya ia demam tinggi, dan kehilangan suaranya. Dan entah kenapa setelah itu, Angel tidak lagi berbicara. Meski menurut dokter ( Ken menghabiskan seluruh tabungannya untuk membawa Angel ke dokter ) tidak ada lagi masalah pada tenggorokan Angel dan seharusnya ia sudah bisa lagi berbicara seperti biasa.
Dan begitulah, Angel berhenti bersekolah, menjalani hari-harinya di dalam kamar sempitnya dengan wallpaper merah muda yang sudah lusuh.
Ken mengangkat tangannya, membelai lembut kepala Angel. Angel tampak tak menggubrisnya, terus asyik mewarnai gambar yang tengah di buatnya. Ken menyadari gambar itu amat bagus, Angel pandai menggambar.
“Siapa mereka ?” tanya Ken lembut. Jelas ia melihat gambar seorang remaja cowok dan seorang gadis kecil di sampingnya, saling bergandengan tangan.
Angel tak menjawab. Ken mengamati gambar itu. Ia tahu siapa mereka.
“Kau tahu, kau sangat berbakat, Angel…” kata Ken. Ia mengelus lembut pipi Angel dengan jarinya. Angel tetap sibuk dengan gambarnya. “Aku menyayangimu.”
Ken bangkit, keluar dari kamar. Ia mendengar suara pintu dibanting menutup. Ayahnya sudah pulang. Ken tak peduli. Ia masuk kekamarnya sendiri, melempar ranselnya begitu saja dan langsung menyambar laptopnya. Ia kembali teringat Angel yang tidak lagi bicara, ayahnya yang pemabuk, ibunya yang tak jelas kerjanya…
Keluarganya hancur. Sepanjang ingatan Ken, tak pernah sekali pun ia melihat ibu dan ayahnya ( kalau dua orang itu bisa di sebut ibu dan ayah ) mengobrol riang seperti keluarga-keluarga lain yang ia lihat di acara TV. Mereka hanya akan saling bertukar kata dengan nada dingin. Hingga suatu hari emosi kedua orang itu mencapai batasnya dan ibunya pergi dari rumah. Ken mungkin masih kecil saat itu, tapi ia masih bisa mengingat setiap momen dengan baik. Saat Lumina membentak Todd, saat Todd memukuli Lumina, saat Lumina akhirnya menghambur ke arah pintu dan membantingnya hingga menutup.
Ken memejamkan matanya, berusaha mengingat setiap momen yang terjadi setahun setelah kejadian itu.
Lumina kembali, dengan sebuah buntelan kain biru lusuh yang berisi seorang bayi perempuan kecil yang manis dengan mata biru kehijauan yang mengagumkan. Todd tak berkomentar apa-apa dengan kembalinya Lumina. Ia bahkan tak tertarik untuk melihat buntelan yang dibawa oleh istrinya itu.
“Aku kembali, Todd,” Ken masih bisa mengingat kata-kata Lumina saat itu. Todd Cuma mendengus, mengacuhkan istrinya. Lumina meletakkan bayinya begitu saja di atas sofa lusuh di ruang tamu mereka. Saat itulah Ken beringsut ke sofa melihat bayi itu. Dalam sekejap saja, Ken menyayangi bayi mungil itu.
“Bayi siapa itu ?” tanya Todd.
“Bayiku,” jawab Lumina dingin.
“Dia punya nama ?”
“Aku tidak mengharapkan memilikinya, Todd. Dan satu hal yang jelas, dia bukan putrimu.”
“Kenapa tak kau berikan saja pada ayahnya ?”
Lumina menghela nafas emosi.
“Aku tak tahu siapa ayahnya !!”
Todd mendengus, tertawa mengejek.
“Rasakan. Dasar perempuan murahan,” maki Todd. “Kenapa tak kau buang saja ?”
“Aku tidak mau masuk penjara lagi.”
“Boleh kupanggil dia ‘Bayi Brengsek’ ?” tanya Todd.
“Terserah,” jawab Lumina letih.
Saat itu Ken menatap kedua orang tuanya dengan pandangan tak suka. Bagaimana bisa mereka menatap bayi kecil, lucu dan manis ini dengan pandangan seperti itu. Saat itulah ia memutuskan satu nama untuk bayi perempuan ini.
“Namamu Angel,” kata Ken. “Karena kau seperti malaikat…”
Lumina memandangnya sekilas, Todd mendengus lagi, mengeluarkan botol birnya dan mulai menenggak semuanya.
Setelah itu Ken mulai mengurus adiknya, hanya menerima sedikit uang dari ibunya untuk membeli susu, popok dan perlengkapan lainnya. Intinya, dia membesarkan adiknya seorang diri.
---
“Kenneth !”
Seruan ayahnya membuat Ken tersentak. Ia kembali meletakkan laptop-nya dan melangkah ogah-ogahan ke dapur. Di sana, Todd Steall duduk di kursi dapur. Botol bir tergeletak begitu saja, isinya yang tinggal sedikit tumpah di atas meja makan.
“Belikan aku sebotol lagi,” perintah ayahnya.
“Kau terlalu banyak minum.”
“Belikan!!”
“Lumina hanya meninggalkan uang untuk membeli bahan makan malam,” kata Ken.
“Persetan dengan perempuan brengsek itu !! Sekarang belikan aku sebotol lagi !!!”
“Kalau kau terlalu banyak minum kau bakal mati lebih cepat !” kata Ken, meski dalam hati ia setengah berharap pria ini mati lebih cepat.
“Jangan coba mengguruiku, bocah sialan. Kau pikir dirimu siapa ?!!” bentak Todd. Ken tak gemetar sedikit pun. “Cepat berikan semuanya padaku !!”
“Tidak,” kata Ken. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, mencengkram erat uangnya. Ia tidak akan membiarkan pemabuk ini merebut uang untuk makan malamnya nanti bersama Angel. Tapi Todd tak semudah itu menyerah. Ia melompat dari kursinya berusaha merebut uang itu dari tangan Ken. Dengan gesit Ken melesat, menghindari ayahnya. Tapi tidak cukup cepat. Todd menarik tudung jaket Ken, membuat Ken tersentak dan terlempar hingga menabrak lemari Kayu di belakangnya saat tinju besar Todd menghantam pipi kirinya.
Ken bisa merasakan darah asin di mulutnya, dia menyadari uangnya telah hilang dan sudut mulutnya berdarah. Ia menyeka darahnya dengan punggung tangan, melompat menyambar tangan Todd yang memegang uang. Todd menggerung, berusaha menyingkirkan Ken, tapi Ken berkutat, merebut uang dari tangan Todd. Todd berusaha mendorongnya dengan satu tangan sementara tangan yang satunya lagi berusaha menjauhkan uang itu dari jangkauan Ken.
Ken bukan tipe anak yang akan menyerah begitu saja. Tanpa pikir panjang, Ken menyentakkan badannya. Dan saat jari-jarinya menyentuh kertas-kertas yang mereka perebutkan Ken berseru gembira, tapi tak berlangsung lama, mereka bergumul sekitar lima menit di lantai. Akhirnya Ken menendang Todd agar menjauh hingga kepala Todd membentur kaki meja. Melihat adanya kesempatan, Ken melompat masuk ke kamarnya, menyambar laptop dan melesat ke kamar Angel dan mengunci pintu, tepat saat Todd bangkit sambil memegangi kepalanya.
Ken mendesah lega. Angel masih duduk dalam posisi yang sama seperti yang dilihat Ken saat ia pulang tadi.
Ken memeluk lembut Angel, mengusap rambutnya.
“Kita akan melalui semuanya, Angel… semuanya…” bisik Ken.
Hingga malam, Ken tidak keluar dari kamar Angel.