Sabtu, 11 Juli 2009

Angel Steall



Angel Steall

Panggilan : Angel

Usia : saat ini enam tahun

Keterangan :

Dia adalah adik perempuan Ken. Sangat pandai menggambar. Dia tidak bisa ( atau tepatnya tidak mau ) bicara sejak dua tahun yang lalu. Angel sangat pandai menggambar dan menyukai coklat dan makanan-makanan manis lainnya. Suaranya juga lumayan bagus.

A/N : Jaket yang dipakai Angel di gambar ini punya Ken. Btw, gamabarnya bagus nggak ???

Chapter 2

CHAPTER 2
Best Friend and The Girl Next to Him

Gadis itu bernama Anne Highs. Rambutnya hitam panjang, lurus, wajah manis. Pakaiannya memang bukan dari merk yang mahal, tapi jelas mereka tampak bagus saat dikenakan olehnya. Ia murid pindahan yang baru datang hari ini. Ken melihatnya pertama kali di kelas matematika, saat gadis itu maju untuk menyelesaikan sebuah persamaan yang sulit di papan tulis.

Ia Cuma memperhatikannya sekilas, tak tertarik. Ia juga tak tertarik dengan fakta bahwa gadis itu duduk di sebelahnya di kelas itu, mengundang gumaman kecewa dari beberapa siswa lain di kelas.

“Hai, aku Anne Highs… mungkin kau sudah tahu…” kata Anne mengulurkan tangannya.

“Kenneth Steall,” kata Ken menjabat tangan Anne.

Mereka berjalan keluar dari ruang kelas, menuju ruang loker, mengambil buku untuk pelajaran berikutnya. Dari ujung koridor, Stanley dan teman-temannya mulai bersiul keras.

“Oy, Highs ! Ngapain kau main-main sama cowok jelek itu ?” seru Stan. “Kau mau terlihat bodoh, ha ?” seperti biasa, suara tawa teman-teman Stan berderai. Ken Cuma mengangkat bahu tak peduli. Ia terus berjalan.

Anne menyusulnya dengan wajah sebal.

“Apa dia selalu seperti itu ?” tanya Anne berusaha menjajari langkah cepat Ken.

Ken menggumamkan sesuatu yang tidak dapat di dengar Anne. Anne terus mengikutinya hingga mereka sampai di ruang loker. Mereka mengobrol santai. Oke, mungkin Cuma Anne yang berbicara sementara Ken Cuma menanggapi sedikit.

“Hey, Ken…” sapa Samantha yang tengah memasukkan bukunya ke dalam loker. Ia menatap gadis yang berdiri di sebelah Ken. “Oh, maaf. Namaku Samantha Hayes…” kata Samantha memperkenalkan dirinya.

“Aku Anne Highs. Senang bertemu denganmu, Samantha…” Anne tersenyum menatap gadis berambut panjang kecoklatan di hadapannya ini. Samantha seorang gadis yang cantik, tinggi, wajah kurus dan tegas… singkatnya sempurna.

Paling tidak itu menurut Anne. Anne ingin memiliki mata seperti itu. Kelabu pucat dengan bentuk tajam dan indah. Samantha amat pandai menghias matanya sedemikian rupa dengan mascara, hingga mata itu terlihat jauh lebih indah lagi.

“Anne ? Kau tidak mengambil barang-barangmu ?” tanya Samantha, membuat Anne tersentak dari lamunannya.

“Ap… aku ? Oh, ya… tentu saja. Tunggu, dimana Ken ?” tanya Anne.

“Ken sudah ke kelasnya lebih dulu. Aku duluan, ya,” kata Samantha. Ia melambai pada Anne.

Anne membuka lokernya dan mengeluarkan buku-buku dan melesat ke kelasnya sendiri.

Ken mengeluarkan laptopnya, dan meletakkannya di pangkuan. Sejenak ia duduk diam di depan word processor yang hanya menunjukkan nhalaman putih kosong. Jari-jari Ken menyentuh keyboard tapi tidak menekannya. Lama ia menatap langit-langit kamarnya yang kosong. Memikirkan apa yang akan ia tulis.

Ia memikirkan satu kata… mengangkat tangannya dan mulai mengetik. Suara ketikan tangan itu terdengar dengan tempo yang teratur. Jari-jari Ken bergerak lincah di sepanjang keyboard laptop.

Pernahkah kau merasakan sesuatu seperti yang kurasakan saat ini ? Yeah, memiliki ibu yang brengsek, ayah pemabuk tua… tapi memiliki adik perempuan manis yang secantik malaikat ?
Kau memiliki rumah di daerah kumuh, dengan dua kamar tidur. Satu untuk ibumu, satu untuk adikmu, sementara kau menemukan dirimu terbangun setiap pagi menatap langit-langit gudang sempit yang seumur hidupmu kau sebut “kamar”. Itulah yang kurasakan.
Kau bisa saja tertawa membaca tulisan ini. Mungkin semua hal terdengar lucu bagimu seperti pecundang yang kutemui di sekolah. Tapi aku tidak bercanda. Kalau kau berada dalam posisiku, mungkin kau akan kabur saja dari rumah ini tanpa perlu berpikir dua kali.
Tapi tidak denganku.
Aku tidak akan meninggalkan adikku sendiri. Aku tidak akan meninggalkan gadis kecil manis yang selisih umurnya delapan tahun dari umurku. Aku akan terus bersamanya, aku akan melindunginya dari semua orang yang ingin menyakitinya. Aku −


Tangan Ken terhenti saat ia mendengar suara pintu yang di buka. Ia melihat siapa yang berdiri di ambang pintu kamarnya dan ia tersenyum saat melihat siapa itu. Angel berdiri di sana. Sebelah tangannya memegang boneka Teddy kesayangannya sementara tangan yang lain memegang sebuah buku gambar tipis yang di kenali Ken sebagai buku gambarnya.

“Hai, Ange…” sapa Ken. Ia meletakkan laptopnya ke atas tempat tidur dan melompat, menuntun Angel agar masuk ke kamarnya. Angel mengikutinya dalam diam. Ken mendudukkan Angel di pangkuannya, sementara ia terus mengetik di laptop-nya.

Aku akan melakukan apa pun, apa pun untuk membuat Angel bangga.


Ken menjauhkan laptop-nya dan memeluk Angel. Ia mulai mengayun Angel, maju mundur… menggumamkan sebuah lagu yang ia sendiri tak yakin pernah di dengarnya di mana. Angel tak bergerak dalam pelukan Ken, tapi Ken tahu, Angel suka di peluk. Ia ingat saat Angel dulu akan menyambutnya sepulang sekolah dan meminta Ken memeluknya.

“Kau tahu Ange… kau memiliki suara yang bagus…” kata Ken. Ia terus mengayun Angel. “Aku ingat saat kau menyanyikan lagu ‘Twinkle-twinkle Little Star’ versi rap saat masih berumur tiga tahun. Lucu sekali…”

Ken menunduk, melihat Angel tersenyum, meski tidak berkata apa-apa. Tanpa sadar, Ken juga tersenyum, mengelus lembut pipi Angel.

“Hei, Ange… aku suka melihat senyummu…” kata Ken. Ia memeluk Angel, melindunginya dari semua yang ingin menyakitinya. Angel merapatkan kakinya ke badannya, menggulung seperti bola.

Ken kembali menyenandungkan lagu itu sekali lagi… Sementara Angel menikmati terayun-ayun dalam pelukan Ken. Ken membaringkan Angel di sampingnya, terus bersenandung, menatap langsung mata biru jernih milik Angel. Kemudian, ia mulai membuat suara-suara dan wajah aneh, membuat Angel tersenyum semakin lebar. Tapi masih belum ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir mungilnya.

Ken terus bermain dengan suara dan wajahnya, hingga Angel lelah dan dia tertidur. Ken menatap wajah gadis kecil itu. Melihat betapa tenangnya ia tidur. Ken tersenyum samar, mengambil lagi laptop-nya dan mulai mengetik.

---

“Mr. Steall… bisa kita bicara sebentar ?” tanya Miss Houston, guru Bahasa Inggris berperawakan langsing dengan wajah tegas yang cantik. Ken mengangkat kepalanya dari tugas yang tengah ia kerjakan.

Miss Houston menunggunya sebentar. Ken bangkit dari tempat duduknya, mengikuti Miss Houston. Jelas wanita muda itu tampak kurang senang akan sesuatu, dan dalam hati Ken bisa menebak apa yang ada di pikirannya.

“Mr. Steall, aku sudah membaca karanganmu. Sangat bagus, tetapi…”
Ken mampu menebak lanjutan kalimatnya.

“… menurutku kau terlalu kasar dalam mengungkapkan sesuatu, Mr. Steall. Ini tidak seperti karangan yang di buat oleh anak berusia empat belas tahun,” kata Miss Houston. “Apa benar kau yang mengarang semua ini ?”

Ken menatap langsung mata Miss Houston.

“Aku membuatnya sendiri.”

“Well, kalau begitu semuanya jauh lebih mudah. Dengar, aku tahu kau pintar, kau memang mapu menulis sesuatu seperti ini, tapi Mr. Steall, rasanya tulisan ini tidak cocok untuk tugas sekolah. Dan kuminta kau menulis ulang seluruh karangan ini dengan bahasa yang lebih baik.”

“Kalau anda tak mengerti isi karangan itu, jangan suruh saya mengulangnya, Miss Houston. Kenapa tidak anda saja yang sebaiknya mulai mencoba untuk mengerti isinya?”

“Mr. Steall, aku tidak mengharapkan bantahan darimu. Aku hanya meminta kau mengulangi karangan itu. Dan lagi tema yang kau pilih terlalu berat… kenapa kau tidak mencoba sesuatu yang… kau tahu… lebih ringan ?”

“Miss Houston, anda tidak akan pernah membaca The Lord of The Ring jika mengharapkan J. R. R. Tolkien memilih tema yang lebih ringan. Mungkin judulnya malah akan jadi The Elf and The Human Love Story. Intinya Miss, saya menolak menulis ulang karangan itu,” kata Ken.

Miss Houston mendesah.

“Mr. Steall, aku akan memuat cerita terbagus ini di Koran sekolah. Bagaimana aku bisa memuat cerita seperti ini di sana ?”

“Ya sudah. Aku tidak meminta anda memasukkan cerita ini ke Koran sekolah.”

“Mr. Steall, ini menyangkut nilai pelajaran Bahasa Inggrismu. Sekarang kau tinggal memilih apa akan menulis ulang karangan ini atau mendapat nilai F untuk semua tugas Bahasa Inggrismu. Selamat pagi, Mr. Steall,” Miss Houston berbalik, menyodorkan karangan Ken dan pergi begitu saja.

---

Samantha Hayes menatap cowok di depannya ini dengan tatapan memelas. Mereka tengah di perpustakaan sekarang, Samantha membaca buku sementara Ken mengetik sesuatu di laptopnya.

“Kau gila ? Melawan Miss Houston seperti itu ?!” bisik Samantha.

“Kukatakan padanya, aku tidak akan mengulang karanganku,” balas Ken berbisik.

“Sama saja kau meminta nilai F untuk semua test Bahasa Inggrismu.”

“Dia sudah mengancamku dengan itu.”

“Ken …!” Samantha tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya.

“Jangan konyol, Sam, aku…” omongan Ken terhenti melihat sosok yang berdiri di belakang Samantha.

“Oh, hai Rush…” sapa Ken.

Samantha menoleh dan melihat Rush Marshall berdiri di belakangnya. Cowok itu tersenyum, langsung duduk di sebelah Samantha. Rush Marshall adalah seorang cowok jangkung berkulit gelap dengan rambut hitam pendek ( rambutnya terlalu pendek sehingga ia mengenakan sebuah kupluk untuk menutupinya ).

“Well, kudengar seseorang diminta Miss Houston menulis ulang semua karangan Bahasa Inggrisnya…” kata Rush.

“Rush, kapan kau kembali ?” tanya Samantha mengernyit heran.

Rush Marshall tersenyum. Ken mengenal baik kebiasaan anak yang satu ini. Hobi bolos, Cuma muncul di sekolah beberapa kali sehari. Mereka berteman baik. Keluarga mereka agak mirip. Hanya saja Rush tak punya masalah dengan ayahnya, karena anak ini bahkan tak tahu siapa ayahnya. Tapi ia tak peduli. Rush selalu mampu melalui hari-harinya dengan tenang tanpa harus terganggu. Dan hari itu sudah sepuluh hari lebih Rush tidak hadir di sekolah. Bukannya ada yang peduli.

Ken Cuma tersenyum mengingat kebiasaan Rush.

“Kau tahu Mr. Lewis mulai bertanya-tanya kemana kau pergi. Kurasa dia benar-benar marah padamu,” kata Samantha.

“Kau bohong,” kata Rush sambil tersenyum. “Aku sudah meneleponnya dan berkata,” Rush melengkingkan suaranya hingga menyerupai suara perempuan, “’Mr. Lewis ? Saya salah satu kerabat Rush Marshall… ya, sir, anak yang itu. Saya menelepon ingin memeberitahukan bahwa hari ini Rush tidak bisa masuk… mungkin untuk beberapa hari… ya, sir… berita duka, neneknya baru saja meninggal dan dia harus pulang… ya… terima kasih, sir…’ Nah, bagaimana ia bisa marah sementara ‘nenekku’ baru saja meninggal ?” ia melempar pandangan geli pada Ken. Ken nyengir, sementara Samantha mengerang kalah.

“Owww…! Oke, kau menang !!” seru Samantha, dan ia menerima ratusan suara “Sssshhh….!!!” Dan pandangan menegur dari penjaga perpustakaan. Samantha menyembunyikan wajahnya dibalik buku.

Ken dan Rush bertukar senyum memandang Samantha.

---

Anne Highs baru memperhatikan anak itu di kelas matematika-nya. Dia duduk tepat disebelah kiri Ken. Dia tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Kalau tak salah namanya Rush Marshall. Anak itu kelihatannya cukup dekat dengan Ken. Yah, kalau tidak dekat bagaimana mungkin mereka bisa tertawa seperti itu ? Dan… ugh, sekarang Mr. Howard memberikan pandangan penuh ancaman pada mereka berdua… berarti sebentar lagi…

PLETAK!!!

Sebuah spidol mendarat dengan keras di kepala Rush, membuatnya berseru kaget. Tangannya otomatis memegang bagian yang terkena lemparan.

“Mr. Marshall… Mungkin akan lebih berarti jika kau menyimak pelajaranku, bukannya membuat acara komedi murahan di belakang sana…” kata Mr. Howard penuh peringatan. Rush hanya terkekeh melihat ekspresi Mr. Howard saat mengatakan hal itu. Ken Cuma menggeleng sambil bergumam “moron” dan kembali menatap buku catatannya.

Anne Highs berusaha kembali serius dengan catatannya, tapi Rush mulai mendengungkan lagu dengan aneh, membuat dia tak dapat menahan tawa. Kelas Matematika itu berlalu dengan Mr. Howard berusaha menahan amarahnya.


A/N : Untuk yang berikutnya, blog ini akan di up-date mungkin sebualn atau dua bulan sekali... Tapi jika ada up-date yang lebih cepat, silahkan cek saja...

Selasa, 07 Juli 2009

Kenneth Steall


Kenneth Steall
Usia : Saat ini masih empat belas tahun.
Panggilan : Ken.
Keterangan :
Ken adalah seorang kakak yang amat menyayangi adiknya. Ia anak yang bertanggung jawab, cerdas, meski terkadang agak sulit untuk diatur.
Dia bersahabat dekat dengan Samantha Hayes dan Rush Marshall.
A/N : Banyak hal yang menginspirasi karakter ini. Apa ada yang bisa menebak salah satunya ????

Chapter 1

CHAPTER 1
The Boy Who Has No Future

Mrs. Stagerson menatap anak laki-laki di hadapannya ini. Menatap kertas-kertas yang baru saja diserahkan anak itu. Ia tak percaya anak berjaket lusuh ini menyelesaikan tugasnya dengan begitu sempurna. Oke, mungkin tidak sempurna, tapi mendekati.

“Katakan padaku, Steall, kau mengerjakan semua ini ?” tanyanya tak percaya.

“Ya,” jawab Kenneth Steall.

“Sendiri ?”

“Ya.”

Mrs. Stagerson mengangkat alisnya, mengangguk. Ia mulai memeriksa makalah anak-anak yang lain.

---

“Dia anak yang cerdas.”

“Ya, sayang dia dibesarkan di keluarga yang salah…”

“Mungkin karena itu sikapnya agak…”

“Apa ? Kurang ajar ?”

“Kau membaca pikiranku.”

“Patut disayangkan. Kau tahu, dengan otak dan kemampuannya, dia akan jadi orang yang luar biasa. Aku yakin itu…”

“Tapi dengan keadaannya saat ini…”

Kedua wanita itu terus berjalan menjauh.

---

Stanley Hamilton bisa di bilang rajanya seluruh berandalan di kota. Ken tahu itu. Dan dia juga tahu sebaiknya tidak membuat masalah dengan anak yang Cuma punya otot tapi tidak punya otak itu. Bukannya dia suka mencari masalah dengan Stan, tapi Stan selalu mencarinya untuk membuat masalah baru.

Ken berdiri tanpa sedikit pun rasa takut saat ia menatap Stan dan teman-temannya. Oke, mungkin dia agak gugup, tapi ia menekan semuanya sampai batas kemampuannya. Ken melintasi mereka tanpa rasa takut. Ia mendengar Stan berteriak dibelakangnya.

“Oy, Steall! Bagaimana kabar ibumu yang brengsek itu ?!!” seru Stan.

Semua teman-temannya tertawa mendengar lelucon yang tak lucu itu. Ken tak menggubrisnya.

Terserah dia mau mengata-ngatai Lumina Steall. Ken tak peduli. Tapi tampaknya Stan tak puas dengan respon yang diberikan Ken. Ia kembali mengeraskan suaranya, berseru pada Ken,

“Kau tahu ? Adikmu sama brengseknya dengan ibumu, Steall !! Idiot !”

Lagi-lagi tawa teman-teman Stan terdengar.

Ken tak mampu lagi menahan emosinya. Boleh saja ia menghina Lumina, terserah, tapi tidak dengan Angel.

Tanpa pikir panjang, Ken melemparkan ransel bututnya, berlari menerjang Stan, tapi sebuah tangan menahannya, membuat gerakan Ken terhenti. Ia berbalik melihat siapa yang menahannya.

Samantha Hayes memandangnya dengan kening berkerut, menggeleng.

“Apa yang kau lakukan ?” tanya Samantha setelah menyeret Ken menjauh dari Stan dan teman-temannya yang mulai tertawa mengejek Ken. “Kau hampir saja memasukkan dirimu ke dalam masalah besar, Ken !” Ken menepuk ranselnya untuk menepiskan debu yang menempel ( yang baru saja menempel, karena yang lama melekat begitu kuat sehingga sulit membersihkannya, bahkan pemilik laundry paling mahal pun akan menggeleng menyerah dan mencampakkan tas itu ke tong sampah ). “Apa yang dia lakukan hingga kau marah ?”

Ken berusaha mengatur lagi emosinya sebelum menjawab.

“Dia menghina Angel.”

Samantha menghela nafas.

“Dan kau marah karena itu ?”

“Dia mengatakan Angel brengsek seperti ibuku !”

“Lalu ?”

“Sam… kau ini bodoh atau apa ? Angel tidak seperti itu… Dia memang… berbeda… tapi dia tidak seperti ibuku.”

“Dia memanfaatkan kelemahanmu, Ken. Kau tahu dia dapat nilai F untuk paper biologinya sementara kau dapat A+.”

“Itu bakan alasan untuk menghina Angel.”

“ya, aku tahu. Dia hanya ingin membuatmu marah.”

Ken menghela nafas, berusaha meredakan emosinya. Sam benar, pikir Ken. Tapi jika semua ini telah menyangkut dengan Angel, ia akan mulai kehilangan control. Apa yang ia pikirkan ? Dia bisa terlibat lebih banyak masalah jika tadi ia memang memukul telak Stan. Sudah cukup ia ditegur karena memukuli orang-orang yang menganggu Angel dua minggu yang lalu.

“Kau benar,” kata Ken mengakui. “Trims, Sam.”

Ken berbalik dan pergi. Sementara Samantha tersenyum samar.

---

Ken kembali pulang ke tempat sempit di daerah kumuh itu. Menaiki tangga apartemennya. Ken tidak terkejut sama sekali saat menemukan apartemen itu dalam keadaan kosong. Todd Steall pasti sedang keluar, bertemu dan mabuk-mabukkan bersama teman-temannya sesama pengangguran. Ken tak peduli. Hal yang pertama di lakukannya adalah mengecek kamar Angel.

Angel duduk di sisi tempat tidurnya dengan sebuah buku gambar terbuka di pangkuannya. Angel menoleh saat Ken masuk ke kamar dan berjongkok disisinya, melihat apa yang tengah ia gambar.

Gadis kecil itu tidak mengatakan apa-apa. Lagi-lagi, ini bukan sesuatu yang membuat Ken terkejut.

Semua itu terjadi sejak dua tahun yang lalu. Angel pulang dalam keadaan menangis, penuh luka, sementara hujan terus membasahinya. Keesokan harinya ia demam tinggi, dan kehilangan suaranya. Dan entah kenapa setelah itu, Angel tidak lagi berbicara. Meski menurut dokter ( Ken menghabiskan seluruh tabungannya untuk membawa Angel ke dokter ) tidak ada lagi masalah pada tenggorokan Angel dan seharusnya ia sudah bisa lagi berbicara seperti biasa.

Dan begitulah, Angel berhenti bersekolah, menjalani hari-harinya di dalam kamar sempitnya dengan wallpaper merah muda yang sudah lusuh.

Ken mengangkat tangannya, membelai lembut kepala Angel. Angel tampak tak menggubrisnya, terus asyik mewarnai gambar yang tengah di buatnya. Ken menyadari gambar itu amat bagus, Angel pandai menggambar.

“Siapa mereka ?” tanya Ken lembut. Jelas ia melihat gambar seorang remaja cowok dan seorang gadis kecil di sampingnya, saling bergandengan tangan.

Angel tak menjawab. Ken mengamati gambar itu. Ia tahu siapa mereka.

“Kau tahu, kau sangat berbakat, Angel…” kata Ken. Ia mengelus lembut pipi Angel dengan jarinya. Angel tetap sibuk dengan gambarnya. “Aku menyayangimu.”

Ken bangkit, keluar dari kamar. Ia mendengar suara pintu dibanting menutup. Ayahnya sudah pulang. Ken tak peduli. Ia masuk kekamarnya sendiri, melempar ranselnya begitu saja dan langsung menyambar laptopnya. Ia kembali teringat Angel yang tidak lagi bicara, ayahnya yang pemabuk, ibunya yang tak jelas kerjanya…

Keluarganya hancur. Sepanjang ingatan Ken, tak pernah sekali pun ia melihat ibu dan ayahnya ( kalau dua orang itu bisa di sebut ibu dan ayah ) mengobrol riang seperti keluarga-keluarga lain yang ia lihat di acara TV. Mereka hanya akan saling bertukar kata dengan nada dingin. Hingga suatu hari emosi kedua orang itu mencapai batasnya dan ibunya pergi dari rumah. Ken mungkin masih kecil saat itu, tapi ia masih bisa mengingat setiap momen dengan baik. Saat Lumina membentak Todd, saat Todd memukuli Lumina, saat Lumina akhirnya menghambur ke arah pintu dan membantingnya hingga menutup.

Ken memejamkan matanya, berusaha mengingat setiap momen yang terjadi setahun setelah kejadian itu.

Lumina kembali, dengan sebuah buntelan kain biru lusuh yang berisi seorang bayi perempuan kecil yang manis dengan mata biru kehijauan yang mengagumkan. Todd tak berkomentar apa-apa dengan kembalinya Lumina. Ia bahkan tak tertarik untuk melihat buntelan yang dibawa oleh istrinya itu.

“Aku kembali, Todd,” Ken masih bisa mengingat kata-kata Lumina saat itu. Todd Cuma mendengus, mengacuhkan istrinya. Lumina meletakkan bayinya begitu saja di atas sofa lusuh di ruang tamu mereka. Saat itulah Ken beringsut ke sofa melihat bayi itu. Dalam sekejap saja, Ken menyayangi bayi mungil itu.

“Bayi siapa itu ?” tanya Todd.

“Bayiku,” jawab Lumina dingin.

“Dia punya nama ?”

“Aku tidak mengharapkan memilikinya, Todd. Dan satu hal yang jelas, dia bukan putrimu.”

“Kenapa tak kau berikan saja pada ayahnya ?”

Lumina menghela nafas emosi.

“Aku tak tahu siapa ayahnya !!”

Todd mendengus, tertawa mengejek.

“Rasakan. Dasar perempuan murahan,” maki Todd. “Kenapa tak kau buang saja ?”

“Aku tidak mau masuk penjara lagi.”

“Boleh kupanggil dia ‘Bayi Brengsek’ ?” tanya Todd.

“Terserah,” jawab Lumina letih.

Saat itu Ken menatap kedua orang tuanya dengan pandangan tak suka. Bagaimana bisa mereka menatap bayi kecil, lucu dan manis ini dengan pandangan seperti itu. Saat itulah ia memutuskan satu nama untuk bayi perempuan ini.

“Namamu Angel,” kata Ken. “Karena kau seperti malaikat…”

Lumina memandangnya sekilas, Todd mendengus lagi, mengeluarkan botol birnya dan mulai menenggak semuanya.

Setelah itu Ken mulai mengurus adiknya, hanya menerima sedikit uang dari ibunya untuk membeli susu, popok dan perlengkapan lainnya. Intinya, dia membesarkan adiknya seorang diri.
---

“Kenneth !”

Seruan ayahnya membuat Ken tersentak. Ia kembali meletakkan laptop-nya dan melangkah ogah-ogahan ke dapur. Di sana, Todd Steall duduk di kursi dapur. Botol bir tergeletak begitu saja, isinya yang tinggal sedikit tumpah di atas meja makan.

“Belikan aku sebotol lagi,” perintah ayahnya.

“Kau terlalu banyak minum.”

“Belikan!!”

“Lumina hanya meninggalkan uang untuk membeli bahan makan malam,” kata Ken.

“Persetan dengan perempuan brengsek itu !! Sekarang belikan aku sebotol lagi !!!”

“Kalau kau terlalu banyak minum kau bakal mati lebih cepat !” kata Ken, meski dalam hati ia setengah berharap pria ini mati lebih cepat.

“Jangan coba mengguruiku, bocah sialan. Kau pikir dirimu siapa ?!!” bentak Todd. Ken tak gemetar sedikit pun. “Cepat berikan semuanya padaku !!”

“Tidak,” kata Ken. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, mencengkram erat uangnya. Ia tidak akan membiarkan pemabuk ini merebut uang untuk makan malamnya nanti bersama Angel. Tapi Todd tak semudah itu menyerah. Ia melompat dari kursinya berusaha merebut uang itu dari tangan Ken. Dengan gesit Ken melesat, menghindari ayahnya. Tapi tidak cukup cepat. Todd menarik tudung jaket Ken, membuat Ken tersentak dan terlempar hingga menabrak lemari Kayu di belakangnya saat tinju besar Todd menghantam pipi kirinya.

Ken bisa merasakan darah asin di mulutnya, dia menyadari uangnya telah hilang dan sudut mulutnya berdarah. Ia menyeka darahnya dengan punggung tangan, melompat menyambar tangan Todd yang memegang uang. Todd menggerung, berusaha menyingkirkan Ken, tapi Ken berkutat, merebut uang dari tangan Todd. Todd berusaha mendorongnya dengan satu tangan sementara tangan yang satunya lagi berusaha menjauhkan uang itu dari jangkauan Ken.

Ken bukan tipe anak yang akan menyerah begitu saja. Tanpa pikir panjang, Ken menyentakkan badannya. Dan saat jari-jarinya menyentuh kertas-kertas yang mereka perebutkan Ken berseru gembira, tapi tak berlangsung lama, mereka bergumul sekitar lima menit di lantai. Akhirnya Ken menendang Todd agar menjauh hingga kepala Todd membentur kaki meja. Melihat adanya kesempatan, Ken melompat masuk ke kamarnya, menyambar laptop dan melesat ke kamar Angel dan mengunci pintu, tepat saat Todd bangkit sambil memegangi kepalanya.

Ken mendesah lega. Angel masih duduk dalam posisi yang sama seperti yang dilihat Ken saat ia pulang tadi.

Ken memeluk lembut Angel, mengusap rambutnya.

“Kita akan melalui semuanya, Angel… semuanya…” bisik Ken.

Hingga malam, Ken tidak keluar dari kamar Angel.

Minggu, 05 Juli 2009

Prolog

Prolog

Kenneth Steall terjaga begitu saja malam itu. Atau lebih tepatnya pagi itu. Kamarnya yang kecil, gelap dan penuh sesak oleh benda-benda favoritnya. Ia melirik jam weker menyala-dalam-gelap yang tergeletak di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Jam dua pagi. Memaki dalam hati, ia keluar dari kamarnya, menuju lorong gelap dan sempit yang menghubungkan antara ruang tamu dan dapur.

Ia masuk ke dapur, untuk mengambil air minum. Terhenti sejenak melihat ayahnya duduk di hadapan dua botol kosong dengan label lusuh bermerk bir murahan. Ia dapat mendengar ayahnya menggumamkan sesuatu dalam tidurnya. Ken Cuma menggeleng dan meraih cangkir hijau favoritnya dan mengisinya penuh-penuh dengan air dari dalam kulkas butut di sudut dapur.

Ken berjalan menuju pintu lain di ujung lorong. Membukanya pelan. Kamar itu tidak terlalu sesak. Sebuah tempat tidur kecil berada di salah satu sudut ruangan. Di sana, seorang gadis berusia enam tahun tertidur nyenyak dengan sebuah boneka teddy bear coklat di sebelahnya. Gadis itu bernama Angel. Ken menatapnya lebih dekat lagi, mengamati rambut pirang lusuh panjang dan lurusnya yang halus. Tersenyum sejenak, Ken beranjak keluar dari kamar itu.

Ken kembali masuk ke kamarnya, meletakkan cangkirnya di atas meja belajarnya yang berantakan. Ia duduk sejenak di atas tempat tidur, menyadari dirinya sudah terlanjur bangun dan tidak bisa tidur lagi. Beberapa saat ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya ia ingat tugas proyek biologi-nya yang masih terlantar di pojok ruangan. Ken merogoh-rogoh tas ranselnya dan mengeluarkan pena dan buku catatan kecil, kemudian menarik keluar laptop-nya, satu-satunya benda mahal yang ada di kamar itu. Atau mungkin di seluruh rumah. Atau bahkan benda paling mahal yang pernah dimiliki Ken seumur hidup.

Ia menguap, membaca ulang latar belakang makalah yang telah ditulisnya. Dalam hati menggerutu, bagaimana ia bisa menulis sesuatu yang membosankan seperti ini. Ia kembali melirik alarm di atas meja kecilnya, melihat bahwa waktu menunjukkan pukul empat pagi.

Merasa bosan, Ken membuka halaman baru di word processor laptop-nya dan mulai menulis sesuatu.

***

Lumina Steall melirik suaminya yang terlelap di dapur. Menggeleng, wanita cantik itu melepas mantelnya dan menggantungkannya di gantungan dekat lorong. Ia baru akan melepas sepatu hak tinggi merahnya saat ia melihat pintu kamar anaknya, Ken, mengayun terbuka.

Ken berdiri disana. Dengan baju kaus lusuh bergambar pohon palem dan celana training hitam yang warnanya sudah tak jelas. Dari wajahnya, Lumina tahu Ken belum tidur atau sudah terbangun untuk waktu yang lama.

“Ken ? Kau belum tidur ?” tanya Lumina dengan nada dingin. Dia tidak mengharapkan anaknya bangun jam empat pagi seperti ini. Ken melangkah keluar dari kamarnya, membawa cangkir kosong menuju dapur. Lumina mengikutinya menuju dapur.

“Ken, kau belum menjawab pertanyaanku,” kata Lumina. Ia menatap anak ini dengan tatapan dingin.

Ken mendongak, menatap Lumina dengan pandangan dingin.

“Aku terbangun,” jawab Ken dengan nada yang tak kalah dingin. Tanpa berkata apa-apa ia berjalan melintasi ibunya kembali masuk ke kamar.

***

Ken Steall tak pernah menyukai rumahnya. Bukan apa-apa, dia hanya tidak bisa membuat dirinya menyukai tempat sempit di kawasan kumuh itu. Oh, yeah. Bagaimana ia bisa menyukai rumah itu jika dia sendiri bahkan tak mampu menyukai orang tuanya ?

Ayahnya pemabuk dan ibunya tak pernah memiliki pekerjaan yang jelas. Lumina hanya akan pergi pagi-pagi buta dan kembali pada pagi buta juga di hari berikutnya. Kemudian dia akan tidur seharian dan baru bangun pada malam hari untuk menenggak sebotol Sherry di meja dapur, sementara ayahnya akan duduk di depan TV, dengan sebotol bir murahan dan pop corn, menonton siaran olahraga tanpa minat. Ken tahu ayahnya tidak menonton acara itu, pria itu Cuma tidak ingin berada di ruangan yang sama dengan istrinya.

Ken sendiri adalah seorang anak empat-belas-tahun-menjelang-lima-belas-tahun berbadan kurus, rambut pirang lusuh berantakan tak terurus. Dengan baju lusuh, celana jeans yang terlalu sering di cuci dengan ukuran dua nomor lebih besar yang seharusnya. Sneakernya yang dulu berwarna hitam dan putih kini berwarna hijau butek dan kelabu. Ranselnya sudah bulukan. Secara singkat, dia bukan orang yang akan kau lirik dua kali saat berada di jalan.

Tapi dia memiliki beberapa hal baik dalam penampilannya. Sebut saja mata hijau-nya yang luar biasa itu, dan wajahnya yang lumayan tampan ( andaikan tidak di tutupi dengan debu-debu dan andaikan dia mau membersihkannya sedikit saja… ). Dia cukup tinggi untuk anak seusianya.

Anggota terakhir apartemen lusuh di sudut kota yang di sebut Ken sebagai rumah adalah Angel Steall. Gadis kecil manis yang amat di sayanginya. Satu-satunya hal yang membuatnya kembali kerumah itu.

Seandainya saja ia punya keluarga yang lebih baik…

***

Sinopsis, baca ini duluuu...!!!

Kehidupan Kenneth Steall tidak seperti teman-temannya yang lain. Ayahnya seorang pemabuk, ibunya tak jelas pekerjaannya, sementara adik perempuannya berhenti sekolah dan menolak untuk bicara.

Kehidupannya disekolah pun sama parahnya. Guru Bahasa Inggrisnya selalu mencari-cari kesalahannya, teman sekolahnya selalu menganggunya... Tapi semua itu diimbangi dengan dua orang yang ditemuinya di sekolah juga.

Dan Kenneth Steall melalui semua itu... menuliskan kisahnya ( yang ditentang habis-habisan oleh sang guru Bahasa Inggris ) dengan sebuah laptop... benda termahal yang pernah dimilikinya...